Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Seekor Kucing di Atas Dunia

24 Januari 2025   11:54 Diperbarui: 24 Januari 2025   11:54 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sedang duduk di atas lemari kayu tua, tempat paling tinggi di apartemen ini.

Dari sini, aku bisa melihat segalanya---si pemilik apartemen yang selalu telat bangun, cangkir kopinya yang tak pernah dicuci bersih, dan kalender di dinding yang masih terjebak di bulan lalu. Seperti biasa, aku hanya mengamati. Karena apa lagi yang bisa dilakukan oleh seekor kucing, selain berpura-pura peduli sambil diam-diam merasa lebih unggul dari semua makhluk bernapas di ruangan ini?

"Kamu lagi ngapain di sana, Din?" teriak pemilik apartemen yang suka memanggilku dengan nama yang bukan namaku. Aku tidak tahu kenapa manusia merasa punya hak untuk memberi nama pada sesuatu yang sudah punya identitas sebelum mereka hadir. Aku memalingkan kepala, perlahan, hanya untuk memastikan dia paham bahwa aku tidak peduli.

Namaku bukan Dino. Namaku... entahlah. Aku lupa. Sudah terlalu lama menjadi bagian dari hidupnya, sampai-sampai aku merasa ada sebagian diriku yang ikut terhapus setiap kali dia memanggilku dengan nama itu.

Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu di udara. Bau kopi basi biasanya mendominasi, tapi kali ini aroma asing menyelinap masuk dari celah jendela yang lupa ditutup rapat. Aroma itu membawa sesuatu---sesuatu yang menggelitik bulu-bulu di punggungku.

Dan tiba-tiba saja, aku ingin keluar.

***

Ruang di luar apartemen ternyata jauh lebih bising dari yang kubayangkan. Aku tidak pernah keluar sebelumnya, karena selama ini hidupku terbatas pada empat dinding tempat aku mengamati manusia dan kebiasaannya yang membosankan. Tapi hari ini, aku melompat. Dari lemari, ke meja, lalu ke jendela, sampai akhirnya aku berdiri di tepi balkon, melihat dunia yang bergerak lebih cepat dari detik jam di dapur.

Manusia. Banyak manusia. Mereka berjalan tanpa melihat ke atas, sibuk dengan benda-benda kecil di tangan mereka. Kadang aku bertanya-tanya, apa yang mereka cari di sana? Apa ada jawaban untuk hidup yang lebih masuk akal daripada tidur di tempat yang hangat dan makan tepat waktu?

Aku melompat lagi. Kali ini, ke pagar balkon tetangga. Adrenalinku memuncak---aku tidak pernah merasa sesegar ini sebelumnya. Aku melompat dari satu balkon ke balkon berikutnya, sampai akhirnya aku sampai di atap. Dari sini, dunia benar-benar terlihat kecil.

Di atap ini, aku bertemu dengannya. Seekor kucing betina dengan bulu hitam legam, matanya seperti malam tanpa bintang.

"Kamu baru pertama kali di sini, ya?" tanyanya sambil menggaruk telinganya.

"Ya," jawabku pendek.

Dia mendengus, lalu duduk di tepi atap, memandang jauh ke bawah. "Kita semua punya alasan untuk keluar. Kamu apa?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melompat keluar hari ini. Tapi aku tidak ingin terlihat bodoh di depannya, jadi aku berkata, "Aku ingin tahu rasanya hidup."

Dia tertawa. "Hidup? Kamu pikir hidup itu di luar sana?" Dia menunjuk ke jalan yang ramai. "Hidup itu cuma hal-hal kecil. Seperti melompat ke tempat baru atau menemukan bau yang asing. Itu sudah cukup."

Aku tidak menjawab. Tapi ada sesuatu dalam cara dia berkata-kata yang membuatku ingin mengikutinya.

***

Hari-hari berikutnya, aku sering bertemu dengannya. Kami melompat dari satu atap ke atap lain, berbagi sisa makanan dari kantong plastik yang tertinggal di tempat sampah, dan kadang hanya duduk diam sambil menonton manusia di bawah sana.

Dia tidak pernah memberitahukan namanya, dan aku juga tidak bertanya. Ada hal-hal yang terasa lebih sakral ketika dibiarkan misterius.

Suatu hari, dia berkata, "Aku tidak akan di sini selamanya."

Aku mengangkat kepala. "Maksudmu?"

"Aku punya tujuan, dan aku hampir sampai. Tapi sebelum itu, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Dia membawaku ke tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sebuah taman kecil di belakang gedung tua, dengan pohon-pohon yang rantingnya menjulur rendah seperti tangan-tangan tua yang lelah. Di tengah taman itu ada sebuah kolam kecil, airnya jernih, dan aku bisa melihat bayangan diriku sendiri.

"Di sini aku sering berpikir," katanya. "Kalau hidup cuma tentang mengamati, apa bedanya kita dengan bayangan di air?"

Aku tidak punya jawaban untuk itu. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku ingin menemukan sesuatu. Sesuatu yang lebih besar dari rutinitas memanjat lemari atau mencuri ikan di dapur.

Dan itulah saat aku sadar, dia adalah jawabannya.

***

Ketika aku kembali ke apartemen malam itu, aku melihat kalender di dinding. Aku melompat turun dari jendela, berjalan perlahan ke arah kalender itu, dan menggaruknya sampai robek. Aku tahu manusia akan marah, tapi aku tidak peduli. Bagiku, waktu sudah tidak penting lagi.

Aku akan keluar lagi besok. Dan lusa. Dan hari-hari setelahnya. Karena aku ingin hidup, bukan sekadar menjadi bayangan.

Tapi aku tahu, aku tidak akan pernah lupa pada kucing hitam dengan mata malam tanpa bintang itu. Dia mengajariku hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh manusia.

Dan sekarang, aku ingin melompat lebih jauh lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun