"Kamu baru pertama kali di sini, ya?" tanyanya sambil menggaruk telinganya.
"Ya," jawabku pendek.
Dia mendengus, lalu duduk di tepi atap, memandang jauh ke bawah. "Kita semua punya alasan untuk keluar. Kamu apa?"
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melompat keluar hari ini. Tapi aku tidak ingin terlihat bodoh di depannya, jadi aku berkata, "Aku ingin tahu rasanya hidup."
Dia tertawa. "Hidup? Kamu pikir hidup itu di luar sana?" Dia menunjuk ke jalan yang ramai. "Hidup itu cuma hal-hal kecil. Seperti melompat ke tempat baru atau menemukan bau yang asing. Itu sudah cukup."
Aku tidak menjawab. Tapi ada sesuatu dalam cara dia berkata-kata yang membuatku ingin mengikutinya.
***
Hari-hari berikutnya, aku sering bertemu dengannya. Kami melompat dari satu atap ke atap lain, berbagi sisa makanan dari kantong plastik yang tertinggal di tempat sampah, dan kadang hanya duduk diam sambil menonton manusia di bawah sana.
Dia tidak pernah memberitahukan namanya, dan aku juga tidak bertanya. Ada hal-hal yang terasa lebih sakral ketika dibiarkan misterius.
Suatu hari, dia berkata, "Aku tidak akan di sini selamanya."
Aku mengangkat kepala. "Maksudmu?"