Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tiga Puluh Tujuh Detik

23 Januari 2025   10:07 Diperbarui: 23 Januari 2025   15:04 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melipat tisu itu menjadi dua, lalu tiga, dan dengan hati-hati, aku menyentuh tubuh kecilnya. Dia terasa hangat, lebih hangat daripada yang aku bayangkan. Burung itu membuka matanya sedikit, hanya sepersekian detik, lalu menutupnya lagi.

"Tenang," kataku, meskipun aku tidak yakin apakah aku berbicara pada burung itu atau pada diriku sendiri. "Aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman."

Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan itu. Aku bahkan tidak tahu harus membawanya ke mana. Tapi aku melakukannya juga. Aku mengambil burung itu dengan tisu, menggenggamnya seperti menggenggam sesuatu yang rapuh, lalu berdiri. 

Aku menendang pelan kaleng sodaku yang masih tersegel ke pinggir jalan dan meninggalkan keripik kentangku di sana. Rasanya salah jika membawa makanan ketika aku bahkan tidak tahu apakah burung ini akan hidup.

**

Burung itu kubawa ke taman kecil di ujung jalan. Taman itu kosong, hanya ada kursi kayu dan beberapa semak-semak yang daun-daunnya penuh debu. Aku meletakkannya di atas rumput, di tempat yang agak teduh. Dia tetap diam, tapi napasnya masih terlihat naik turun, meskipun sangat pelan.

Aku duduk di sebelahnya, berjongkok dengan siku di lutut, dan mulai berpikir. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencoba memberinya makan? Tapi makan apa? Aku tidak tahu apa yang dimakan burung ini. Atau mungkin dia hanya butuh air? Tapi aku tidak punya apa-apa di sini.

"Ini lucu," kataku pada burung itu, meskipun aku tahu dia tidak akan merespon. "Aku bahkan tidak tahu kenapa aku peduli. Maksudku, ini cuma tiga puluh tujuh detik dalam hidupku. Aku bisa saja terus berjalan, melupakanmu, dan hidupku tidak akan berubah sama sekali."

Dia tetap tidak merespon, dan aku merasa sedikit bodoh karena berbicara dengan seekor burung. Tapi aku terus melakukannya.

"Kau tahu, aku pernah dengar bahwa manusia punya insting untuk membantu makhluk lain. Katanya, itu karena kita merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Seperti kalau kita lihat video tentang orang yang kelaparan, kita merasa harus membantu karena kalau tidak, kita akan merasa jahat. Tapi kau? Aku tidak tahu apa yang membuatku berhenti."

Burung itu membuka matanya lagi, lebih lama kali ini. Dia menatapku, dan entah kenapa aku merasa dia sedang menilai kata-kataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun