Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tiga Puluh Tujuh Detik

23 Januari 2025   10:07 Diperbarui: 23 Januari 2025   15:04 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: KOMPAS/SUPRIYANTO)

Aku tidak pernah tahu apa yang harus dilakukan dalam waktu tiga puluh tujuh detik. 

Itu bukan waktu yang cukup lama untuk melakukan sesuatu yang berarti, tapi juga terlalu panjang untuk hanya dibiarkan berlalu begitu saja. Seperti saat menunggu lift yang tidak pernah datang, atau berdiri di antrian kasir sementara orang di depan sibuk mencari koin di dompetnya. 

Tiga puluh tujuh detik adalah kekosongan kecil yang membuat kita sadar bahwa kita hidup, tapi tidak benar-benar melakukan apa-apa.

Hari itu, aku punya tiga puluh tujuh detik untuk memutuskan apakah aku akan menyelamatkan seekor burung atau tidak.

Burung itu tergeletak di tengah trotoar, sayapnya terlipat aneh, matanya seperti kaca pecah yang tak lagi merefleksikan apa-apa. Aku menemukannya ketika sedang berjalan pulang dari minimarket. 

Di tanganku ada sebungkus keripik kentang rasa sapi panggang dan minuman soda kaleng yang entah kenapa aku beli meskipun aku tidak terlalu suka soda. Aku berhenti, menatap burung itu, dan mencoba berpikir.

Seseorang pernah bilang, kalau burung itu tergeletak di tanah dan tidak terbang, mungkin ada alasan. Mungkin dia sakit. Mungkin dia sekarat. Atau mungkin dia hanya lelah dan butuh istirahat sebentar sebelum kembali terbang. 

Tapi aku tahu, kalau aku meninggalkannya begitu saja, burung itu tidak akan punya kesempatan. Di belakangku, ada sepeda motor melaju di jalan. 

Di depan, ada anak-anak kecil yang sedang bermain bola. Aku tahu ini adalah salah satu dari momen-momen tiga puluh tujuh detik itu. Aku harus memilih sekarang.

Aku jongkok dan meletakkan keripik kentang dan soda di samping kakiku. Burung itu tidak bergerak. Aku merogoh kantong jaketku dan mengeluarkan selembar tisu. 

Aku melipat tisu itu menjadi dua, lalu tiga, dan dengan hati-hati, aku menyentuh tubuh kecilnya. Dia terasa hangat, lebih hangat daripada yang aku bayangkan. Burung itu membuka matanya sedikit, hanya sepersekian detik, lalu menutupnya lagi.

"Tenang," kataku, meskipun aku tidak yakin apakah aku berbicara pada burung itu atau pada diriku sendiri. "Aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman."

Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan itu. Aku bahkan tidak tahu harus membawanya ke mana. Tapi aku melakukannya juga. Aku mengambil burung itu dengan tisu, menggenggamnya seperti menggenggam sesuatu yang rapuh, lalu berdiri. 

Aku menendang pelan kaleng sodaku yang masih tersegel ke pinggir jalan dan meninggalkan keripik kentangku di sana. Rasanya salah jika membawa makanan ketika aku bahkan tidak tahu apakah burung ini akan hidup.

**

Burung itu kubawa ke taman kecil di ujung jalan. Taman itu kosong, hanya ada kursi kayu dan beberapa semak-semak yang daun-daunnya penuh debu. Aku meletakkannya di atas rumput, di tempat yang agak teduh. Dia tetap diam, tapi napasnya masih terlihat naik turun, meskipun sangat pelan.

Aku duduk di sebelahnya, berjongkok dengan siku di lutut, dan mulai berpikir. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencoba memberinya makan? Tapi makan apa? Aku tidak tahu apa yang dimakan burung ini. Atau mungkin dia hanya butuh air? Tapi aku tidak punya apa-apa di sini.

"Ini lucu," kataku pada burung itu, meskipun aku tahu dia tidak akan merespon. "Aku bahkan tidak tahu kenapa aku peduli. Maksudku, ini cuma tiga puluh tujuh detik dalam hidupku. Aku bisa saja terus berjalan, melupakanmu, dan hidupku tidak akan berubah sama sekali."

Dia tetap tidak merespon, dan aku merasa sedikit bodoh karena berbicara dengan seekor burung. Tapi aku terus melakukannya.

"Kau tahu, aku pernah dengar bahwa manusia punya insting untuk membantu makhluk lain. Katanya, itu karena kita merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Seperti kalau kita lihat video tentang orang yang kelaparan, kita merasa harus membantu karena kalau tidak, kita akan merasa jahat. Tapi kau? Aku tidak tahu apa yang membuatku berhenti."

Burung itu membuka matanya lagi, lebih lama kali ini. Dia menatapku, dan entah kenapa aku merasa dia sedang menilai kata-kataku.

"Baiklah," kataku. "Mungkin aku melakukannya karena aku ingin merasa seperti orang baik. Itu jawaban yang lebih jujur, kan? Kau pasti berpikir aku ini egois. Aku menyelamatkanmu bukan karena aku peduli padamu, tapi karena aku peduli pada diriku sendiri."

Aku tertawa kecil. Burung itu memiringkan kepalanya sedikit, lalu menutup matanya lagi.

**

Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, tapi aku tahu burung itu tidak akan hidup lama. Napasnya semakin pelan, dan aku mulai merasa bahwa semua ini sia-sia. Mungkin aku seharusnya meninggalkannya tadi. Mungkin dia memang sudah waktunya mati, dan aku hanya memperlambat sesuatu yang tidak bisa dihindari.

"Maaf," kataku pelan. "Aku mencoba. Tapi aku rasa ini tidak cukup."

Tapi saat aku hendak berdiri, seorang pria tua berjalan mendekat. Dia membawa kantong plastik berisi roti, dan dia menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Aku tidak tahu apakah dia marah, penasaran, atau hanya bingung.

"Burung itu sakit?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku menemukannya di trotoar."

Pria itu berjongkok di sebelahku. Dia membuka kantong plastiknya, mengeluarkan sepotong roti, dan mulai meremahkannya. Aku ingin mengatakan bahwa burung ini tidak mungkin makan, tapi aku tidak punya energi untuk menjelaskan. Jadi aku hanya diam dan melihat.

Dia meletakkan remah-remah roti di depan paruh burung itu. Untuk sesaat, tidak ada yang terjadi. Lalu, tiba-tiba, burung itu membuka matanya lagi. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat, dia mencoba mematuk salah satu remah roti itu.

Aku terkejut. Pria tua itu hanya tersenyum.

"Burung itu belum selesai," katanya. "Kau hanya perlu memberinya sedikit waktu."

**

Aku tidak pernah bertemu pria itu lagi setelah hari itu. Dan aku juga tidak tahu apa yang terjadi pada burung itu, karena ketika aku kembali ke taman keesokan harinya, dia sudah tidak ada di sana. Tapi aku suka membayangkan bahwa dia terbang pergi, kembali ke langit, dan melupakan semua tentang aku.

Tiga puluh tujuh detik mungkin tidak cukup untuk mengubah dunia. Tapi mungkin, dalam waktu yang sesingkat itu, kita bisa mengubah sesuatu yang kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun