Beberapa pekan setelah pengumuman kenaikan PPN, suasana di pasar, mal, dan toko-toko kecil mulai berubah. Tidak ada kerusuhan, tidak ada protes besar-besaran, hanya keheningan yang semakin nyata.
Penjual buah di pinggir jalan duduk lebih lama tanpa pelanggan, sementara pemilik kios sembako mengisi waktu dengan menghitung stok berulang kali. Keheningan ini bukan karena semua orang sudah menerima keadaan, melainkan karena mereka tidak punya pilihan lain.
Di sebuah ruang keluarga, seorang ayah yang baru saja terkena PHK dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik berbicara kepada anak-anaknya. "Kita harus lebih hemat," katanya sambil tersenyum kecil, seolah kata-kata itu cukup untuk menjelaskan semuanya. Anak-anaknya mengangguk, meskipun mereka mungkin tidak sepenuhnya paham apa yang sedang terjadi.
Tidak jauh dari sana, sebuah restoran kecil yang pernah dipenuhi pengunjung setiap akhir pekan kini terlihat lebih lengang. Pemiliknya berdiri di depan kasir, memandangi daftar pengeluaran yang terus membengkak. Listrik, bahan baku, dan sekarang, pajak. Setiap item dalam daftar itu seperti beban kecil yang, jika ditumpuk cukup lama, bisa menghancurkan semuanya.
"Kalau begini terus, saya tidak tahu apa masih bisa buka tahun depan," katanya sambil menghela napas. Di belakangnya, seorang pegawai muda berdiri diam, mendengarkan tanpa berkata apa-apa.
***
Bagi banyak orang, PPN adalah pajak yang tak kasat mata. Itu ada di setiap struk belanja, di setiap transaksi, tapi jarang benar-benar diperhatikan. Namun, dalam keadaan seperti ini, persen demi persen dari PPN itu mulai terasa seperti beban yang nyata, seperti kerikil kecil di sepatu yang tak bisa diabaikan lagi.
Namun anehnya, tidak ada yang benar-benar marah. Orang-orang berbicara tentang kenaikan ini dengan nada datar, seperti sedang mendiskusikan cuaca yang buruk. "Apa mau dikata?" adalah frasa yang sering terdengar. Mungkin karena di masa lalu, mereka sudah belajar bahwa kemarahan jarang mengubah keadaan.
Di televisi, seorang pejabat pemerintah menjelaskan pentingnya kenaikan PPN ini. Bahwa ini adalah langkah yang perlu untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dan menyeimbangkan anggaran negara. Argumennya terdengar logis, bahkan masuk akal. Tapi logika itu sulit dirasakan oleh mereka yang hanya ingin cukup uang untuk makan malam.
***
Ibu dua anak balita itu, yang dulu selalu membeli susu untuk kedua anaknya tanpa berpikir panjang, kini mulai berkompromi. "Kita coba ganti dengan yang lebih murah, ya," katanya sambil memasukkan kotak kecil susu bubuk ke dalam keranjang belanja. Anaknya yang paling kecil bertanya, "Kenapa, Bu?" Ia hanya tersenyum dan berkata, "Supaya uangnya bisa beli mainan."