Â
Di lantai dasar mal yang pernah menjadi kebanggaan sebuah kota besar, kursi-kursi kafe berdiri kosong. Lampu gantungnya yang temaram seolah sedang berusaha keras membuat suasana terlihat ramah, tetapi yang ada hanya bunyi langkah sepi dari beberapa orang penjaga toko. Di sudut lain, penjaga sebuah butik melipat pakaian untuk ketiga kalinya pagi itu. Tidak ada pembeli.
Sebuah layar besar menayangkan berita terbaru: pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Di bawah berita itu, tulisan kecil berisi argumen kebijakan terlihat formal dan rapi. Namun bagi banyak orang, berita itu terasa seperti peringatan dini bencana.
Di toko mainan anak-anak, seorang ibu berhenti di depan rak boneka. Matanya memperhatikan harga sebelum akhirnya menarik napas panjang dan berbalik tanpa mengambil apa pun. Dari tempat lain terdengar keluhan lirih: "Nanti, kalau PPN naik, makin mahal lagi, ya?" Kalimat itu mengambang di udara, seperti debu halus yang perlahan turun dan menempel di pakaian setiap orang yang ada di sana.
"Harga akan naik 5 persen." Begitu kata Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, saat dimintai komentar (tirto.id, 20/11/2024).
Ia berbicara dengan tenang, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. "Penjualan bisa turun 50 persen. Januari 2025, omzet ritel anjlok. Satu tahun penuh, kita mungkin akan kehilangan 10 sampai 15 persen dari yang ada sekarang."
Angka-angka itu mengalir dengan rapi, seperti puisi yang terlalu sering diulang. Tapi siapa yang benar-benar mendengar?
***
Di toko Batik kecil di sebuah pasar tradisional, seorang pedagang wanita sedang memeriksa daftar stoknya. "Saya tidak tahu harus menaikkan harga atau tidak," katanya. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. "Kalau harga naik, pelanggan bisa lari. Tapi kalau tidak, saya rugi. Semua orang menaikkan harga."
Ia tahu kebijaksanaan lama tentang ekonomi: ketika orang-orang berhenti membeli, roda berhenti berputar. Tapi kali ini, dia merasa seperti berada di tengah roda itu sendiri, dihimpit oleh beban yang tidak pernah ia pilih.
Di rumah lain, seorang ibu dua anak, berdiri di depan rak makanan di supermarket kecil dekat rumahnya. Ada susu, sereal, dan beberapa bungkus mi instan. Ia berhenti sejenak, memperhatikan label harga, lalu beralih ke rak berikutnya tanpa mengambil apa pun. "Saya hanya ingin memastikan ada uang untuk minggu depan," katanya. Tidak ada yang menanyakan alasannya, karena semua orang di tempat itu paham tanpa perlu penjelasan.