Namun, selebrasi ini juga menjadi pengingat bahwa kemenangan di lapangan hanyalah sebagian kecil dari cerita.
Di era ini, cerita lengkap tidak hanya mencakup permainan, tetapi juga bagaimana momen-momen itu diceritakan ulang, diabadikan, dan dikonsumsi.
Marselino memahami ini, sadar atau tidak, dan selebrasinya adalah manifestasi dari kesadaran tersebut.
Malam itu di Gelora Bung Karno adalah malam kemenangan, bukan hanya bagi Timnas Indonesia, tetapi juga bagi Marselino Ferdinan sebagai seorang individu.
Ia menunjukkan bahwa di dunia modern, menjadi pahlawan tidak cukup; kita juga harus menjadi ikon.
Duduk di kursi lipat, dengan tatapan tengil dan bola di bawah kakinya, Marselino menciptakan momen yang melampaui sepak bola.
Kita akan mengingat golnya. Kita akan mengingat kemenangan itu. Tapi lebih dari itu, kita akan mengingat gambarnya---gaya tengil, santai, dan penuh percaya diri yang menjadi simbol dari generasi dan zaman ini.
Di dunia yang semakin didominasi oleh spectacle, Marselino Ferdinan telah menjadi bintang, bukan hanya di lapangan, tetapi juga di layar yang tak pernah mati.
Malam itu adalah malam miliknya, dan malam kita juga. Karena pada akhirnya, selebrasi Marselino adalah tentang kita semua: tentang bagaimana kita ingin dilihat, diakui, dan diingat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H