Ketika Marselino Ferdinan duduk di kursi lipat ofisial setelah mencetak gol kedua ke gawang Arab Saudi, itu lebih dari sekadar selebrasi.
Dia menoleh ke arah tribun dengan napas terengah-engah, kakinya menapak bola, tatapannya menyampaikan sikap yang bisa diartikan dengan berbagai cara: percaya diri, dominan, tengil, atau barangkali semua itu sekaligus.
Adegan ini, tertangkap sempurna dalam bidikan kamera, gambar itu telah berkata lebih lantang daripada selebrasi lainnya di lapangan hijau.
Tidak ada teriakan atau lompatan. Hanya keheningan penuh perhitungan, seakan dia tahu---sebenarnya dia harus tahu---bahwa lebih dari sekadar pertandingan, ini adalah sebuah pertunjukan.
Dan siapa yang bisa menyalahkan dia? Di dunia kita yang sudah sepenuhnya menjadi "tontonan," seperti yang pernah diungkapkan oleh Guy Debord, perayaan tidak lagi semata tentang momen itu sendiri.
Kita sudah lama pindah dari era perayaan otentik menuju era perayaan representasi.
Marselino, di usianya, tampaknya sangat paham bahwa aksi dan ekspresinya akan lebih lama hidup dalam foto dan video ketimbang dalam ingatan orang-orang yang hadir di stadion malam itu.
Sejak momen itu terjadi, jagat media sosial riuh rendah. Ada yang memuji selebrasi "canggih" ini, menganggapnya sebagai simbol dari ketenangan dan dominasi ala superstar.
Ada pula yang mengejek, menyebutnya sebagai sikap "sok" yang terlalu percaya diri.
Namun, yang jelas, selebrasi ini sukses menjadi simbol, baik bagi Marselino maupun bagi sepak bola Indonesia secara umum.
Ia adalah representasi dari sebuah generasi---Gen Z---yang tumbuh di bawah bayang-bayang algoritma media sosial, yang memahami bahwa eksistensi dan relevansi bukan hanya soal apa yang dilakukan, tapi juga bagaimana itu ditampilkan.
Selebrasi sebagai Pernyataan Visual
Duduk di kursi lipat bukanlah hal yang luar biasa. Siapa pun bisa melakukannya. Tapi, hari ini, konteks adalah segalanya.
Marselino memilih melakukannya di momen ketika sorotan kamera, perhatian tribun, dan pandangan dunia sepak bola Indonesia sedang terpusat kepadanya.
Dia memanfaatkan panggung itu untuk memberikan pesan visual yang, meskipun mungkin tanpa kata, berbicara dengan lantang.
Dalam pose itu, ia bukan hanya pemain muda berbakat yang mencetak dua gol untuk negaranya.
Ia adalah simbol seorang anak muda yang menunjukkan bahwa ia bisa tampil di panggung besar tanpa kehilangan kontrol.
Namun, apakah ini hanya tentang ekspresi individu? Tentu saja tidak. Sebuah perayaan seperti ini, di zaman sekarang, tidak pernah lepas dari konteks sosial dan budaya yang lebih besar.
Marselino, sadar atau tidak, sedang memanfaatkan perangkat simbolis yang sudah menjadi bagian dari bahasa visual generasinya.
Seperti yang dilakukan Cristiano Ronaldo dengan selebrasi khasnya, atau seperti ketika Kylian Mbappe dengan senyum santainya menyindir lawan, selebrasi Marselino juga adalah strategi komunikasi.
Ini adalah caranya berbicara kepada dunia tanpa harus mengucapkan satu kata pun. Pesannya jelas: "Saya tidak hanya di sini untuk bermain; saya ada di sini untuk mendominasi."
Spektakel, Media Sosial, dan Eksistensi
Dalam dunia yang dipenuhi layar juga kamera, di mana setiap momen berharga direduksi menjadi potongan-potongan visual yang dapat dibagikan, selebrasi seperti ini menjadi lebih penting dari sekadar euforia sesaat.
Ini adalah bagian dari spektakel modern, di mana representasi visual sering kali lebih penting daripada kenyataan itu sendiri.
Guy Debord pernah menggambarkan 'masyarakat tontonan' sebagai dunia di mana hubungan sosial manusia dimediasi oleh gambar.
Selebrasi Marselino adalah manifestasi sempurna dari ide itu: momen itu bukan hanya miliknya, tetapi juga milik orang-orang yang menontonnya melalui layar.
Generasi Marselino, Generasi Z, adalah generasi yang lahir dan tumbuh besar dalam dunia ini.
Mereka sangat memahami pentingnya estetika visual, bagaimana citra diri dapat dikonstruksi dan dikomunikasikan melalui media sosial.
Selebrasi Marselino menjadi viral bukan hanya karena dia mencetak gol, tetapi karena caranya mencetak gol terhubung dengan cara generasinya memahami dunia---sebagai serangkaian momen yang bisa dibagikan, di-like, dan diingat melalui gambar.
Pose itu, lebih dari sekadar perayaan, ia adalah produk dari kesadaran media yang mendalam.
Namun, di balik kegemilangan spektakel ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: apakah selebrasi seperti ini hanya tentang Marselino, atau apakah ini juga mencerminkan kita sebagai masyarakat?
Seberapa besar kita, sebagai penonton, turut terlibat dalam membentuk perilaku seperti ini?
Seberapa banyak kita, dengan ekspektasi akan konten yang "viral" dan "ikonik," turut menciptakan tekanan bagi para pemain muda untuk tampil bukan hanya sebagai atlet, tetapi juga sebagai selebritas?
Generasi Z dan Tantangan Baru
Marselino adalah cerminan sempurna dari generasinya. Dalam pose itu, ada lebih dari sekadar sikap tengil; ada kepercayaan diri yang unik, keakraban dengan teknologi, dan kecerdikan dalam menggunakan bahasa visual.
Namun, dengan semua itu, ada juga tantangan besar yang dihadapi oleh generasi ini. Di satu sisi, mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk menavigasi dunia digital dan menciptakan narasi mereka sendiri.
Di sisi lain, mereka juga hidup di bawah tekanan konstan untuk selalu tampil sempurna, menarik, dan relevan.
Bagi Marselino, setiap selebrasi adalah pernyataan, dan setiap pernyataan adalah risiko. Sebuah pose bisa dipuji sebagai bentuk seni, tetapi bisa juga diejek sebagai sikap angkuh.
Generasi ini, lebih dari generasi mana pun sebelumnya, hidup dalam kesadaran akan pandangan orang lain.
Ini bukan hanya soal tampil di lapangan; ini juga soal bagaimana mereka terlihat dalam rekaman video, foto, atau bahkan dalam meme. Dan itu bukan tekanan kecil.
Namun, ada keindahan dalam semua ini. Seperti yang terlihat pada selebrasi Marselino, ada kemampuan generasi ini untuk menciptakan sesuatu yang baru dari tekanan itu.
Mereka adalah generasi yang mampu mengambil hal-hal sederhana---seperti kursi lipat di pinggir lapangan---dan mengubahnya menjadi simbol.
Generasi ini memahami bahwa estetika bukanlah tambahan dari pengalaman, tetapi bagian penting darinya.
Kemenangan, Selebrasi, dan Masa Depan
Selebrasi Marselino tidak hanya menjadi topik perbincangan; ia juga menjadi simbol kemenangan. Kemenangan atas Arab Saudi, sebuah tim yang selama ini menjadi momok bagi sepak bola asia, adalah pencapaian bersejarah.
Gol-gol Marselino, terutama yang kedua, tidak hanya membawa tiga poin, tetapi juga membuka harapan akan masa depan di Piala Dunia 2026.
Namun, selebrasi ini juga menjadi pengingat bahwa kemenangan di lapangan hanyalah sebagian kecil dari cerita.
Di era ini, cerita lengkap tidak hanya mencakup permainan, tetapi juga bagaimana momen-momen itu diceritakan ulang, diabadikan, dan dikonsumsi.
Marselino memahami ini, sadar atau tidak, dan selebrasinya adalah manifestasi dari kesadaran tersebut.
Malam itu di Gelora Bung Karno adalah malam kemenangan, bukan hanya bagi Timnas Indonesia, tetapi juga bagi Marselino Ferdinan sebagai seorang individu.
Ia menunjukkan bahwa di dunia modern, menjadi pahlawan tidak cukup; kita juga harus menjadi ikon.
Duduk di kursi lipat, dengan tatapan tengil dan bola di bawah kakinya, Marselino menciptakan momen yang melampaui sepak bola.
Kita akan mengingat golnya. Kita akan mengingat kemenangan itu. Tapi lebih dari itu, kita akan mengingat gambarnya---gaya tengil, santai, dan penuh percaya diri yang menjadi simbol dari generasi dan zaman ini.
Di dunia yang semakin didominasi oleh spectacle, Marselino Ferdinan telah menjadi bintang, bukan hanya di lapangan, tetapi juga di layar yang tak pernah mati.
Malam itu adalah malam miliknya, dan malam kita juga. Karena pada akhirnya, selebrasi Marselino adalah tentang kita semua: tentang bagaimana kita ingin dilihat, diakui, dan diingat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H