Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Parkir Liar, Wajah Keegoisan Pemerintah dan Masyarakat

19 November 2024   09:37 Diperbarui: 19 November 2024   12:47 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI parkir sembarangan via .okezone.com

Di bawah gemerlap promosi kendaraan listrik dan gencarnya kampanye transportasi publik, ada pemandangan yang terus berulang di jalanan kita: parkir liar yang menjamur di mana-mana. Dari gang sempit hingga boulevard megah, mobil-mobil terparkir seperti cendawan setelah hujan, memenuhi setiap celah jalan.

Masalah ini bukan sekadar gangguan visual atau penyebab kemacetan. Ia adalah cerminan dari kontradiksi besar: pemerintah yang sibuk mendongkrak angka penjualan kendaraan dan masyarakat yang terus mengamini narasi tersebut, sementara ruang untuk kendaraan itu tak pernah cukup disediakan.

Dorongan untuk Membeli Mobil

Ada ironi besar dalam kebijakan pemerintah terkait kendaraan bermotor. Di satu sisi, mereka mengkampanyekan pentingnya transportasi publik untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. 

Namun di sisi lain, mereka justru gencar mendorong masyarakat untuk membeli mobil, baik melalui insentif pajak, kemudahan kredit, hingga program subsidi kendaraan listrik.

Sejak pandemi, misalnya, pemerintah memberikan insentif besar-besaran untuk mendorong pemulihan industri otomotif. Diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil tertentu menjadi salah satu andalan. 

Hasilnya? Penjualan mobil melonjak, dan jalan-jalan di kota besar semakin sesak. Namun, di mana mobil-mobil ini akan diparkir? Pertanyaan ini seolah-olah tak pernah mendapat jawaban serius.

Keinginan pemerintah untuk terus meningkatkan pendapatan dari sektor otomotif tampak jelas. Pajak penjualan, pajak tahunan kendaraan, hingga industri pendukung seperti asuransi dan leasing memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara. 

Namun, yang tak kalah penting adalah keuntungan politik. Industri otomotif menyerap jutaan tenaga kerja, dari pabrik hingga jaringan dealer. Stabilitas sektor ini dianggap penting, meski dampaknya pada lingkungan dan tata ruang semakin berat.

Wacana kendaraan listrik, yang diharapkan menjadi solusi untuk masalah polusi, menambah lapisan kompleksitas baru. 

Pemerintah mendorong masyarakat beralih ke mobil listrik dengan subsidi besar, mengabaikan fakta bahwa infrastruktur seperti stasiun pengisian dan parkir untuk kendaraan ini belum memadai. 

Lagi-lagi, mobil ditambahkan, tetapi ruang untuk menampungnya tidak pernah menjadi prioritas.

Transportasi Publik: Narasi yang Berantakan

Di sisi lain, narasi transportasi publik sering kali terdengar seperti janji kosong. Proyek-proyek besar seperti MRT, LRT, dan BRT diperkenalkan sebagai solusi untuk mengurangi kepemilikan kendaraan pribadi. Namun, bagaimana proyek ini benar-benar memengaruhi kebiasaan masyarakat masih dipertanyakan.

Sebagian besar kota di Indonesia, termasuk Jakarta, tidak dirancang untuk mengintegrasikan transportasi publik dengan kehidupan sehari-hari. Stasiun dan halte sering kali sulit diakses, terutama dari kawasan pemukiman. 

Akibatnya, mobil dan motor tetap menjadi kebutuhan bagi banyak orang. Bahkan mereka yang sudah menggunakan transportasi umum sering kali masih membutuhkan kendaraan pribadi untuk mencapai stasiun atau terminal. Parkir liar di sekitar stasiun adalah bukti nyata dari masalah ini.

Kegagalan untuk benar-benar mendorong transportasi publik ini justru menciptakan ruang bagi pemerintah dan industri untuk terus mendorong penjualan kendaraan. 

Solusi yang diajukan hanya menjadi alat retoris, sementara masyarakat tetap didorong membeli mobil atau motor. Siklus ini terus berulang, tanpa akhir yang jelas.

Parkir Liar: Gejala dari Sistem yang Timpang

Parkir liar adalah gejala paling terlihat dari konflik ini. Di balik mobil-mobil yang terparkir sembarangan, ada cerita tentang sistem yang tidak berfungsi. Sebagian besar pemilik kendaraan di Indonesia tidak memiliki lahan parkir pribadi. 

Kompleks perumahan, terutama di kawasan perkotaan, sering kali dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan parkir. Di tempat kerja, fasilitas parkir sering kali tidak mencukupi. Akibatnya, jalan umum menjadi tempat parkir darurat.

Namun, di balik tindakan ini, ada pemahaman tak terucap: ruang publik dapat digunakan secara pribadi jika tidak ada yang menghalangi. 

Kesadaran akan tanggung jawab kolektif terhadap ruang publik hampir tidak ada, baik di level individu maupun pemerintah. Jalanan, trotoar, bahkan taman sering kali menjadi korban dari budaya "asal bisa."

Yang lebih mencolok adalah bagaimana parkir liar menjadi lahan bisnis informal. Di kota-kota besar, juru parkir ilegal muncul di setiap sudut jalan. Mereka mengelola ruang publik seperti milik pribadi, menarik tarif tanpa aturan yang jelas. 

Pemerintah sering kali menutup mata terhadap fenomena ini, mungkin karena parkir liar dianggap sebagai masalah kecil dibandingkan dengan tantangan lain yang lebih besar.

Kontradiksi Pemerintah dan Masyarakat

Kehadiran parkir liar mengungkapkan kontradiksi yang tak terhindarkan. Pemerintah, yang di satu sisi mendorong masyarakat untuk membeli kendaraan, gagal memastikan bahwa infrastruktur pendukung seperti penyediaan lahan parkir. 

Sementara itu, masyarakat, yang terus merespons dorongan ini dengan membeli mobil, enggan untuk menghadapi tanggung jawab menyediakan ruang parkir pribadi.

Pemerintah sering kali menyalahkan masyarakat atas masalah ini, dengan alasan bahwa perilaku tidak disiplin adalah akar dari parkir liar. 

Namun, tuduhan ini mengabaikan kenyataan bahwa kebijakan publiklah yang menciptakan situasi ini sejak awal. Insentif untuk membeli kendaraan, tanpa perencanaan ruang yang memadai, hanya memperburuk masalah.

Di sisi lain, masyarakat sering kali merasa berhak menggunakan ruang publik untuk parkir. Mereka menganggap bahwa membayar pajak kendaraan memberi mereka hak atas jalanan. 

Argumen ini mengabaikan fakta bahwa jalan adalah fasilitas bersama, bukan milik individu. Tetapi ketika pemerintah sendiri tampak tidak peduli terhadap pengelolaan ruang publik, masyarakat dengan mudah mengadopsi pola pikir yang sama.

Parkir Liar sebagai Cerminan Ekosistem

Parkir liar bukan sekadar masalah teknis atau perilaku individu. Ia adalah hasil dari ekosistem yang cacat, di mana kebijakan pemerintah, kebutuhan ekonomi, dan budaya masyarakat saling berkonflik. 

Di satu sisi, pemerintah menciptakan tekanan ekonomi untuk membeli kendaraan. Di sisi lain, masyarakat merespons tekanan ini tanpa memikirkan konsekuensi ruang.

Ekosistem ini juga mencerminkan ketimpangan yang lebih besar. Di kawasan elite, fasilitas parkir sering kali tersedia dengan baik.

Mal dan perumahan mewah menyediakan ruang luas untuk kendaraan, sementara di kawasan menengah dan bawah, ruang publik menjadi pilihan terakhir. Parkir liar, dalam hal ini, juga merupakan simbol dari ketidakadilan akses terhadap ruang kota.

Narasi yang Membingungkan

Pada akhirnya, masalah parkir liar adalah cerminan dari narasi yang membingungkan. Pemerintah berbicara tentang masa depan hijau dengan kendaraan listrik, sementara di waktu yang sama mendorong masyarakat untuk terus membeli mobil. 

Transportasi publik disebut-sebut sebagai solusi, tetapi pembangunannya tidak pernah cukup untuk menggantikan kendaraan pribadi. Di tengah semua ini, masyarakat berada di persimpangan, berusaha memenuhi kebutuhan transportasi mereka sambil menghadapi infrastruktur yang tidak memadai.

Parkir liar menjadi manifestasi dari kebingungan ini. Ia adalah simbol dari kota yang tidak memiliki arah yang jelas, di mana ruang publik diabaikan demi kepentingan pribadi. 

Namun, di saat yang sama, ia juga mencerminkan keputusasaan masyarakat yang harus mencari solusi sendiri di tengah kebijakan yang saling bertentangan.

Parkir liar tidak akan hilang dengan mudah, karena ia bukan hanya tentang tempat mobil berhenti. Ia adalah refleksi dari bagaimana kota ini dikelola, bagaimana ruang diprioritaskan, dan bagaimana pemerintah serta masyarakat saling membentuk---dalam cara yang sering kali merugikan satu sama lain. 

Sebelum narasi besar tentang kendaraan listrik dan transportasi publik benar-benar diwujudkan, parkir liar akan terus menjadi pengingat yang mencolok akan wajah kota yang terbelah antara janji dan realitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun