Bayangkan sebuah negara dimana helm motor dijual tanpa standar? Di sini kita mengenalnya SNI. Setiap pabrik bisa memproduksi helm sesuai keinginan mereka - ada yang sekuat baja, ada yang rapuh seperti plastik mainan.
Ketika kecelakaan terjadi, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan penggunanya. Konyol? Tentu saja. Namun ironisnya, ini yang terjadi ketika kita menghapus Ujian Nasional (UN) dari sistem pendidikan kita.
Selama ini, perdebatan tentang ada atau tidaknya Ujian Nasional selalu berkutat pada argumen yang sama: stress siswa, beban psikologis, atau kecurangan dalam pelaksanaan.Â
Namun ada satu perspektif krusial yang sering terabaikan: standardisasi sebagai bentuk perlindungan masa depan generasi bangsa.
Standardisasi: Bukan Sekadar Angka
Ketika kita membeli helm berstandar SNI, kita membayar lebih mahal bukan untuk mereknya, tetapi untuk jaminan keamanan. Standardisasi ini melindungi nyawa pengendara.
Begitu pula dengan makanan yang harus lolos BPOM atau elektronik yang harus memenuhi standar keamanan internasional. Lantas, mengapa untuk pendidikan yang menentukan masa depan seseorang, kita justru rela menghapus standarnya?
Ujian Nasional bukan sekadar ritual tahunan yang menyiksa siswa. Ia adalah mekanisme perlindungan yang memastikan setiap lulusan memiliki kompetensi minimal yang dibutuhkan untuk bersaing di dunia nyata.
Tanpa standar ini, kita seperti melepas pesawat terbang tanpa standar keselamatan - mungkin bisa terbang, tapi siapa yang berani menjamin keselamatannya?
Realitas Dunia Global yang Tak Terbantahkan
Mari kita lihat fakta yang terjadi di lapangan. Beberapa universitas terkemuka di luar negeri mulai menolak lulusan dari negara yang tidak memiliki sistem ujian nasional.
Mengapa? Karena mereka tidak memiliki tolok ukur yang jelas untuk membandingkan kualitas antar calon mahasiswa.
Negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia justru mempertahankan ujian nasional mereka:
- Finlandia, dengan sistem pendidikan nomor satu dunia, tetap memiliki Matriculation Examination
- Jepang dengan Center Test-nya
- Korea Selatan dengan Suneung
- Singapura dengan O-Level dan A-Level
- China dengan Gaokao
Mereka memahami bahwa standar nasional bukan penghalang kreativitas, melainkan fondasi yang memastikan kualitas minimum pendidikan tetap terjaga.
Dunia Kerja Tidak Mengenal Kompromi
"Apakah mungkin jika kelak anak-anak itu lulus, adakah perusahaan hebat yang mau menerima mereka tanpa ujian?"
Pertanyaan ini mengasumsikan bahwa dunia kerja akan berbaik hati mengabaikan standar kompetensi. Realitanya? Perusahaan-perusahaan terkemuka justru semakin ketat dalam proses rekrutmen mereka.
Mereka membutuhkan cara untuk memastikan bahwa calon pegawai memiliki kompetensi dasar yang diperlukan.
Tanpa standar nasional, setiap sekolah bisa membuat standar mereka sendiri. Bayangkan kekacauan yang terjadi ketika ribuan sekolah di Indonesia masing-masing punya standar berbeda.
Bagaimana perusahaan bisa membandingkan lulusan dari sekolah A di Jakarta dengan sekolah B di pelosok Sumatera?
Penyesuaian, Bukan Penghapusan
Kritik terhadap UN seringkali valid - tekanan berlebihan, fokus yang terlalu sempit pada akademik, atau praktik kecurangan. Namun solusinya bukan menghapus UN, melainkan menyesuaikan sistemnya:
1. Implementasi Computer-Based Testing yang lebih fleksibel
2. Kombinasi dengan penilaian berkelanjutan
3. Cakupan materi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman
4. Sistem yang lebih transparan dan adil
5. Mekanisme pengawasan yang lebih ketat
Dampak Penghapusan UN pada Kualitas Pendidikan
Penghapusan UN tanpa sistem pengganti yang memadai dapat menimbulkan berbagai masalah serius:
1. Kesenjangan Kualitas
- Sekolah di daerah maju akan semakin unggul
- Sekolah di daerah tertinggal semakin sulit mengejar ketertinggalan
- Tidak ada standar minimal yang harus dicapai
2. Menurunnya Daya Saing Global
- Lulusan Indonesia akan kesulitan bersaing di tingkat internasional
- Kredibilitas ijazah Indonesia bisa dipertanyakan
- Berkurangnya peluang studi lanjut di universitas terkemuka
3. Tantangan bagi Dunia Kerja
- Proses rekrutmen menjadi lebih kompleks dan mahal
- Perusahaan harus membuat tes kompetensi sendiri
- Potensi diskriminasi berdasarkan asal sekolah
Melindungi Masa Depan Generasi
Ketika kita membeli helm berstandar SNI, kita membayar lebih mahal untuk perlindungan. Ketika kita memilih makanan berlabel BPOM, kita rela mengeluarkan lebih banyak untuk keamanan.
Mengapa untuk pendidikan yang menentukan masa depan anak-anak kita, kita justru rela mengorbankan standardisasinya?
Ujian Nasional memang bukan sistem yang sempurna, tapi ia adalah bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi masa depan generasi penerusnya.
Sama seperti standar helm melindungi pengendaranya, standar pendidikan melindungi masa depan peserta didik.
Di era global dimana persaingan semakin ketat, menghapus Ujian Nasional sama dengan mengirim anak-anak kita ke medan pertempuran tanpa perlengkapan yang memadai.
Mereka mungkin bisa bertahan, tapi mengapa kita harus mempertaruhkan masa depan mereka?
Kesimpulan
Standarisasi dalam pendidikan, seperti halnya dalam produk konsumen, bukan tentang membatasi, melainkan melindungi.
UN mungkin memiliki kekurangan, tapi menghapusnya tanpa sistem pengganti yang memadai adalah langkah mundur dalam upaya membangun pendidikan berkualitas.
Maka pertanyaannya bukan lagi "Ada atau tidak ada Ujian Nasional?", melainkan "Bagaimana kita bisa memperbaiki sistem Ujian Nasional agar lebih efektif melindungi masa depan generasi bangsa?"
Karena pada akhirnya, jika helm saja punya standar untuk melindungi pemakainya, mengapa pendidikan yang menentukan masa depan seseorang justru kita biarkan tanpa standar yang jelas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H