Di tengah pengasingan yang tak berujung, Tan Malaka menulis karya yang hingga kini masih hidup: Madilog---singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Buku ini bukan hanya sekadar manifesto filsafat, tetapi lebih kepada panduan revolusi berpikir, sebuah upaya membebaskan rakyat Indonesia dari kolonialisme mental.
"Kebebasan berpikir adalah hak dasar setiap manusia. Revolusi tidak akan bermakna tanpa kebebasan itu," tulisnya dalam Madilog pada tahun 1943. Di dalam karya ini, Tan menekankan pentingnya logika dan dialektika dalam melawan kebodohan yang diciptakan oleh sistem kolonial, mengajak bangsa Indonesia untuk berpikir mandiri dan kritis, sebuah pesan yang seakan melintasi zaman dan berbicara langsung kepada kita di era modern ini.
Relevansi di Era Digital
Apa yang akan dikatakan Tan Malaka jika ia menyaksikan "kolonialisme" model baru yang hadir dalam bentuk algoritma media sosial, disinformasi yang merajalela, dan ketergantungan digital yang nyaris mencekik? Di era ketika informasi disaring dan dipilah oleh mesin, di mana pandangan kita sering kali disesatkan oleh bias algoritmik, pemikiran Tan Malaka terasa semakin relevan.Â
Melalui Madilog, ia mengajarkan pentingnya logika dan dialektika untuk menghadapi arus informasi, sebuah pedoman yang terasa penting di era post-truth, ketika kebebasan berpikir kita diuji dengan cara yang berbeda.
Tan Malaka seakan telah meramalkan bahwa perjuangan melawan penjajahan di masa depan tidak lagi soal teritorial, tetapi tentang menjaga kemerdekaan pikiran. Madilog menjadi relevan sebagai penangkal dari polarisasi, alat untuk merdeka dari penjara mental yang sering kali lebih sulit ditembus daripada tembok penjajahan fisik.
Pelajaran dari Sang Revolusioner
Tan Malaka mengajarkan bahwa menjadi revolusioner bukan hanya soal mengangkat senjata. Terkadang, revolusi terbesar lahir dari keberanian untuk berpikir berbeda, untuk menantang arus utama, dan untuk berdiri teguh pada prinsip meskipun harga yang harus dibayar sangat mahal. Di era ketika "konformitas" sering kali dianggap sebagai kebajikan, Tan Malaka adalah pengingat bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari kebebasan berpikir.
Ketika banyak orang memilih kenyamanan untuk tidak berpikir kritis, Tan Malaka malah mengangkat pemikiran revolusioner sebagai jalan bagi bangsa untuk bebas. "Perubahan yang sejati bukan datang dari senjata, tapi dari pemikiran yang bebas," tulisnya dalam Madilog.Â
Kata-kata ini berbicara kepada kita, mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati adalah keberanian untuk berpikir mandiri, untuk menentang kebodohan, dan untuk memupuk ketangguhan mental.
Warisan yang Masih Hidup
Hari ini, dunia menghadapi berbagai tantangan baru---krisis iklim, kesenjangan sosial, hingga ancaman teknologi yang mencengkeram kebebasan berpikir. Pemikiran Tan Malaka tentang revolusi fundamental masih bergema, menawarkan panduan untuk perubahan yang lebih besar dari sekadar transformasi politik. Ia mengajarkan bahwa revolusi tidak pernah hanya tentang mengubah penguasa; revolusi adalah proses panjang perubahan cara berpikir dan bertindak.
Seperti yang ia tulis dalam salah satu suratnya, yang kini tersimpan di Arsip Amsterdam, "Revolusi sejati adalah ketika setiap orang berani berpikir untuk dirinya sendiri." [Sumber: Arsip Amsterdam No. TM-1930/156].
Mungkin kini adalah saat yang tepat untuk menghidupkan kembali semangat Tan Malaka, bukan dengan mengangkat senjata, tetapi dengan berani berpikir kritis, menantang status quo, dan memperjuangkan perubahan fundamental yang dibutuhkan oleh bangsa ini.