Mungkin, ini memberi kita perspektif baru bahwa dalam mengucapkan selamat tinggal, kebersamaan bisa dicapai tanpa tuntutan atau ekspektasi pada mereka yang pergi.
Tradisi perpisahan dengan makanan, meski punya kehangatan tersendiri, bukanlah satu-satunya cara.
Pengalaman kebersamaan tak selalu harus dibungkus dalam bentuk makanan. Dalam buku Sapiens, Yuval Noah Harari mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang menemukan kehangatan dalam komunitas---bukan dari apa yang dipegang atau dimiliki, tetapi dari rasa bahwa mereka "dilihat" dan "dihargai."
Ini sejalan dengan ide bahwa kebersamaan bukanlah transaksi. Kebersamaan muncul dari kepedulian dan dari momen yang kita bagikan, entah itu lewat senyum, percakapan sederhana, atau sekadar kehadiran.
Menghidupkan Ucapan Perpisahan yang Tulus
Mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan, apakah kebiasaan traktiran perpisahan ini benar-benar perlu? Bayangkan jika perpisahan di kantor diisi dengan obrolan ringan, tanpa embel-embel donat atau piza.
Ketika seorang rekan kerja berpamitan, kolega mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, saling menukar cerita dan kenangan tanpa harus ada "pajak" tak tertulis.
Momen itu bisa jadi lebih tulus, karena semua orang tahu bahwa hubungan dan kenangan tidak berakhir hanya karena tak ada makanan di atas meja.
Beberapa kantor di dunia menerapkan kebijakan berbeda dalam memperlakukan karyawan yang akan pergi.
Di beberapa perusahaan, perpisahan adalah acara kecil yang difasilitasi oleh kantor sendiri, tanpa meminta kontribusi dari karyawan.
Ini seolah memberi ruang bagi mereka yang akan pergi untuk pamit dengan tenang, tanpa perasaan bahwa mereka "berhutang" kebersamaan.
Dalam skenario ini, perpisahan terasa lebih ringan, karena fokusnya bergeser dari "apa yang dibawa" menjadi "siapa yang pergi dan apa yang mereka tinggalkan."