Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa yang Sebenarnya Kita Cari dalam Momen Perpisahan?

9 November 2024   10:15 Diperbarui: 9 November 2024   10:56 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan perpisahan atau "farewell treats" via scmp.com

Di ruang-ruang kantor, di sudut pantry yang tak istimewa, kotak donat atau piza kerap muncul sebagai "ritual" kecil saat seseorang hendak mengucapkan selamat tinggal.

Tanpa ada aturan resmi, orang yang resign seperti mendapatkan undangan tak langsung untuk menyisihkan uang demi sepiring piza atau sekotak donat sebagai "tanda perpisahan." Tradisi ini tampak biasa saja.

"Traktiran perpisahan" sudah melebur dalam budaya kerja, seakan kebersamaan di kantor tak lengkap tanpa sejumput rasa dari makanan yang dibawa oleh mereka yang akan pergi.

Tapi, mari kita renungkan sejenak. Apakah traktiran ini benar-benar dibutuhkan untuk mengukuhkan kenangan?

Ataukah, mungkin, ada cara lain yang lebih bermakna---dan bisa dilakukan tanpa harus merasa terbebani oleh tuntutan sosial yang, sejujurnya, tak semua orang merasa nyaman memenuhinya?

Di banyak budaya, makanan memang dianggap media sosial yang kuat.

Penulis seperti Michael Pollan mengamati bahwa makanan tidak hanya sekadar konsumsi fisik, tetapi juga menjadi "bahasa" yang menyampaikan makna sosial tertentu---cara untuk merasa diterima, terhubung, bahkan untuk memberikan kehangatan dan afeksi.

Di banyak meja makan, orang terhubung lebih dari sekadar percakapan: mereka saling memahami lewat sepiring hidangan.

Namun, ketika ritual berbagi ini menjadi "pajak" sosial, seperti dalam kasus traktiran perpisahan di kantor, muncul pertanyaan mendalam: apakah momen perpisahan benar-benar memerlukan secuil piza atau sepotong donat?

Atau, mungkinkah yang sesungguhnya kita cari dalam perpisahan itu adalah sesuatu yang berbeda?

Makanan sebagai Simbol Koneksi

Tradisi traktiran perpisahan punya akar yang mungkin lebih dalam dari yang kita sadari.

Dalam psikologi sosial, teori "pertukaran sosial" menguraikan bahwa orang merasa terikat secara emosional dan sosial ketika ada semacam "imbal-balik"---entah dalam bentuk materi atau pengalaman.

Kembali ke masa kecil, misalnya, kita mungkin ingat momen ketika teman-teman di sekolah dasar membawa kue atau permen saat ulang tahun.

Kita yang memberi merasa lebih "dilihat" atau "diakui" ketika berbagi camilan kecil itu. Traktiran menjadi "jembatan" yang mempererat relasi, dan sedikit banyak memberikan rasa kehangatan.

Memasuki dunia kerja, tradisi berbagi ini meluas ke momen-momen khusus seperti perpisahan kantor.

Namun, dalam konteks ini, traktiran bukan lagi sekadar ucapan terima kasih yang bebas, melainkan bagian dari ritual yang lebih terstruktur.

Traktiran resign seakan telah menjadi "kode etik sosial" yang tidak diucapkan, yang beredar dari kantor ke kantor, dari generasi ke generasi.

Tapi, ada satu aspek menarik yang perlu direnungkan: apakah kebutuhan sosial kita akan koneksi benar-benar terpenuhi lewat sekotak donat atau sepiring piza? Mungkinkah traktiran ini malah menambah beban bagi mereka yang ingin pergi dengan tenang, tanpa perasaan berhutang?

Ketika Perpisahan Menjadi Pajak Sosial

Salah satu pemikiran yang mendalam mengenai kebutuhan manusia akan koneksi adalah dari filsuf dan psikolog Erich Fromm, yang menyatakan bahwa manusia, pada dasarnya, mendambakan kebersamaan yang autentik.

Dalam bukunya The Art of Loving, Fromm berpendapat bahwa cinta dan kebersamaan sejati bukanlah transaksi atau tukar-menukar materi, melainkan "kebersamaan" yang hadir tanpa syarat, tanpa mengharapkan imbalan.

Maka, apakah sebuah traktiran benar-benar mengukuhkan rasa kebersamaan itu, atau justru memberi beban bagi seseorang yang ingin berpamitan secara tulus tanpa embel-embel?

Dalam "pajak" sosial traktiran ini, mereka yang akan resign tak jarang merasa ada semacam beban tersembunyi.

Di dalam sekotak donat atau piza yang mereka bawa, terselip perasaan ingin "berpamitan dengan baik," seolah ada perhitungan tak terlihat yang menyatakan: jika tak ada makanan yang tertinggal, kepergian mereka seakan kurang "legitimasi."

Namun, tradisi ini juga bisa memberi tekanan tersendiri. Ada karyawan yang baru saja mulai di kantor, yang mungkin resign karena alasan ekonomi atau kesehatan.

Untuk mereka, traktiran adalah beban, sebuah ekspektasi yang---seberapapun ringan---membuat pamitan menjadi lebih berat dari yang seharusnya.

Makanan Sebagai Bahasa, tapi Apakah Selalu Perlu?

Michael Pollan, penulis yang banyak mengeksplorasi soal budaya makanan, menulis bahwa makanan punya "bahasa" yang menghubungkan kita dengan orang lain, cara untuk berbicara tanpa kata.

Tetapi ia juga mengingatkan bahwa makanan---sebagai "bahasa sosial"---harus murni dan tak boleh dibebani ekspektasi. Di kantor-kantor Indonesia, traktiran perpisahan seolah menjadi bahasa yang perlu diterjemahkan kembali. Apakah benar traktiran itu menjadi representasi dari makna hubungan yang tulus?

Bayangkan sejenak skenario yang berbeda. Ada seseorang yang mengucapkan selamat tinggal tanpa sekotak donat, hanya dengan kata-kata singkat yang tulus.

Teman-teman kerjanya mengucapkan selamat tinggal, merasa lega bahwa mereka tetap punya kenangan tanpa perlu gigitan donat terakhir.

Dalam suasana seperti itu, apakah momen perpisahan benar-benar terasa kurang? Ataukah, sebenarnya, momen-momen perpisahan yang sederhana ini justru menghadirkan rasa lega dan keintiman yang lebih murni?

Makna Kebersamaan yang Autentik

Dalam beberapa budaya, khususnya di negara-negara Barat, makanan perpisahan atau "farewell treats" memang tak begitu lazim.

Perpisahan biasanya ditandai dengan ucapan sederhana atau pesta kecil yang diselenggarakan oleh kantor, bukan oleh karyawan yang hendak pamit.

Mungkin, ini memberi kita perspektif baru bahwa dalam mengucapkan selamat tinggal, kebersamaan bisa dicapai tanpa tuntutan atau ekspektasi pada mereka yang pergi.

Tradisi perpisahan dengan makanan, meski punya kehangatan tersendiri, bukanlah satu-satunya cara.

Pengalaman kebersamaan tak selalu harus dibungkus dalam bentuk makanan. Dalam buku Sapiens, Yuval Noah Harari mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang menemukan kehangatan dalam komunitas---bukan dari apa yang dipegang atau dimiliki, tetapi dari rasa bahwa mereka "dilihat" dan "dihargai."

Ini sejalan dengan ide bahwa kebersamaan bukanlah transaksi. Kebersamaan muncul dari kepedulian dan dari momen yang kita bagikan, entah itu lewat senyum, percakapan sederhana, atau sekadar kehadiran.

Menghidupkan Ucapan Perpisahan yang Tulus

Mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan, apakah kebiasaan traktiran perpisahan ini benar-benar perlu? Bayangkan jika perpisahan di kantor diisi dengan obrolan ringan, tanpa embel-embel donat atau piza.

Ketika seorang rekan kerja berpamitan, kolega mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, saling menukar cerita dan kenangan tanpa harus ada "pajak" tak tertulis.

Momen itu bisa jadi lebih tulus, karena semua orang tahu bahwa hubungan dan kenangan tidak berakhir hanya karena tak ada makanan di atas meja.

Beberapa kantor di dunia menerapkan kebijakan berbeda dalam memperlakukan karyawan yang akan pergi.

Di beberapa perusahaan, perpisahan adalah acara kecil yang difasilitasi oleh kantor sendiri, tanpa meminta kontribusi dari karyawan.

Ini seolah memberi ruang bagi mereka yang akan pergi untuk pamit dengan tenang, tanpa perasaan bahwa mereka "berhutang" kebersamaan.

Dalam skenario ini, perpisahan terasa lebih ringan, karena fokusnya bergeser dari "apa yang dibawa" menjadi "siapa yang pergi dan apa yang mereka tinggalkan."

Menyongsong Kebersamaan dengan Cara yang Baru

Mungkin, alih-alih merasa perlu untuk membawa sekotak donat atau piza, mereka yang pamit bisa membagikan kenangan dengan cara lain.

Ada banyak cara untuk meninggalkan jejak yang bermakna tanpa beban finansial.

Selembar catatan kecil di meja rekan kerja, email ucapan terima kasih, atau cerita lucu di ruang obrolan bisa menjadi penanda yang lebih bermakna dan tahan lama.

Kebersamaan yang terbangun tanpa ekspektasi bisa jadi lebih murni, lebih membekas.

Pada akhirnya, donat atau piza hanyalah simbol. Makna yang lebih dalam dari perpisahan ada di momen-momen yang kita ciptakan bersama.

Kebersamaan tidak membutuhkan beban tambahan, dan hubungan sejati tidak terukur dari apa yang ditinggalkan di meja pantry.

Bagi sebagian orang, mungkin kenangan akan hadir dalam senyum, jabat tangan, atau cerita kecil di hari terakhir, yang mengingatkan bahwa di balik setiap perpisahan, ada kehangatan yang tak perlu ditemani oleh apa pun selain kehadiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun