Dalam "pajak" sosial traktiran ini, mereka yang akan resign tak jarang merasa ada semacam beban tersembunyi.
Di dalam sekotak donat atau piza yang mereka bawa, terselip perasaan ingin "berpamitan dengan baik," seolah ada perhitungan tak terlihat yang menyatakan: jika tak ada makanan yang tertinggal, kepergian mereka seakan kurang "legitimasi."
Namun, tradisi ini juga bisa memberi tekanan tersendiri. Ada karyawan yang baru saja mulai di kantor, yang mungkin resign karena alasan ekonomi atau kesehatan.
Untuk mereka, traktiran adalah beban, sebuah ekspektasi yang---seberapapun ringan---membuat pamitan menjadi lebih berat dari yang seharusnya.
Makanan Sebagai Bahasa, tapi Apakah Selalu Perlu?
Michael Pollan, penulis yang banyak mengeksplorasi soal budaya makanan, menulis bahwa makanan punya "bahasa" yang menghubungkan kita dengan orang lain, cara untuk berbicara tanpa kata.
Tetapi ia juga mengingatkan bahwa makanan---sebagai "bahasa sosial"---harus murni dan tak boleh dibebani ekspektasi. Di kantor-kantor Indonesia, traktiran perpisahan seolah menjadi bahasa yang perlu diterjemahkan kembali. Apakah benar traktiran itu menjadi representasi dari makna hubungan yang tulus?
Bayangkan sejenak skenario yang berbeda. Ada seseorang yang mengucapkan selamat tinggal tanpa sekotak donat, hanya dengan kata-kata singkat yang tulus.
Teman-teman kerjanya mengucapkan selamat tinggal, merasa lega bahwa mereka tetap punya kenangan tanpa perlu gigitan donat terakhir.
Dalam suasana seperti itu, apakah momen perpisahan benar-benar terasa kurang? Ataukah, sebenarnya, momen-momen perpisahan yang sederhana ini justru menghadirkan rasa lega dan keintiman yang lebih murni?
Makna Kebersamaan yang Autentik
Dalam beberapa budaya, khususnya di negara-negara Barat, makanan perpisahan atau "farewell treats" memang tak begitu lazim.
Perpisahan biasanya ditandai dengan ucapan sederhana atau pesta kecil yang diselenggarakan oleh kantor, bukan oleh karyawan yang hendak pamit.