Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Jalan Pulang

4 November 2024   11:04 Diperbarui: 4 November 2024   11:06 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Alya dan Rian via tom-talks.org

Kehampaan yang Tak Terucap

Alya menyusuri jalan setapak menuju rumah. Daun-daun kering menyelip di antara langkahnya, menyentuh ujung-ujung sandal yang sudah sedikit aus. Angin sore terasa lekat, menguapkan aroma tanah basah dari sisa hujan yang menggenang di sudut halaman.

Rumahnya, berdiri kokoh, namun sepi, nyaris seperti ruang hampa yang menelan suara langkah. Ada suara samar-samar dari televisi di ruang tamu. Ia tahu Rian pasti sedang duduk di sofa, membiarkan pikirannya tersesat dalam berita atau dokumenter yang tak menarik. Begitu ia membuka pintu, bau kopi pekat menyeruak. Kopi yang masih tersisa di atas meja, satu-satunya tanda bahwa hari ini ada aktivitas di rumah itu.

Sepuluh tahun berlalu sejak ia dan Rian menempati rumah itu bersama, sejak hari-hari yang dipenuhi obrolan antusias dan janji-janji kecil tentang kehidupan yang akan mereka bangun. Waktu berlalu seperti air mengalir, membawa pergi bayangan tentang anak-anak yang berlarian di halaman atau kursi makan yang dikelilingi tawa riang. Sekarang, setiap kali ia memandang sudut ruangan, yang tersisa hanyalah kursi-kursi kosong, dan keheningan yang berlipat-lipat.

Malam ini, keheningan itu tampak semakin nyata. Alya duduk di sofa, hanya beberapa sentimeter dari Rian, tapi terasa seolah ada jarak ribuan kilometer di antara mereka. Rian menoleh sejenak, bertanya dengan lirih, "Bagaimana pertemuan tadi?"

Pertemuan yang ia maksud adalah arisan keluarga di rumah kakak Alya, acara yang sudah rutin digelar tiap bulan. Alya berusaha menahan napas sebelum menjawab, seakan takut kata-katanya akan mengguncang ketenangan yang rapuh di antara mereka. "Biasa saja," jawabnya akhirnya, singkat, kosong, tak berusaha membuka cerita lebih jauh.

Mereka sama-sama tahu bahwa kata-kata bisa menjadi bom waktu, dan siapa pun yang berbicara lebih dulu mungkin akan merusak keseimbangan yang sudah begitu tipis. Dalam hati, Alya merasakan kekosongan yang semakin meresap, tak dapat diisi oleh percakapan apapun, seolah-olah kata-kata hanyalah ilusi.

***

Alya ingat hari itu, sekitar tiga tahun setelah pernikahan mereka, saat ia pertama kali mulai merasa ada yang berbeda. Seorang teman dekatnya, Mira, datang dengan wajah cerah, membawa kabar bahwa ia hamil anak pertamanya. Alya menyambut berita itu dengan senyum lebar, pelukan hangat, dan kata-kata selamat yang penuh keriangan. Namun, begitu Mira pergi, sesuatu terasa hilang. Sesuatu yang Alya sendiri tidak tahu apa, hanya ada rasa sunyi yang muncul tanpa alasan, seperti angin dingin yang tiba-tiba menyusup di tengah hari yang cerah.

Sejak saat itu, setiap pertemuan dengan keluarga atau teman terasa seperti ujian. Setiap ucapan selamat yang ia ucapkan, setiap kali ia menggendong bayi orang lain, ada perasaan yang diam-diam menggerogoti, meninggalkan jejak samar dalam hatinya, seperti garis-garis tipis yang nyaris tak terlihat, tapi terus bertambah, sedikit demi sedikit.

Saat ia akhirnya berbicara pada Rian tentang keinginannya memiliki anak, ia berharap suaminya akan merespon dengan semangat yang sama. Namun, Rian hanya memandangnya, mengangguk dengan tenang, dan berkata, "Kita bisa mencoba, tapi aku tidak ingin kamu merasa terbebani." Kata-kata itu, meski lembut, meninggalkan kesan yang aneh pada Alya. Seakan Rian menerima, tapi tak sepenuhnya terlibat. Dan sejak saat itu, keinginan Alya tumbuh, sementara Rian tetap tenang, tak beranjak, seperti batu besar di tengah sungai yang deras.

Menelusuri Rasa yang Tersembunyi

Pertemuan arisan hari ini tak jauh berbeda. Kakaknya, adik ipar, para sepupu, mereka semua datang bersama anak-anak mereka. Ruangan penuh dengan suara tawa dan tangisan, wajah-wajah yang bersinar saat berbicara tentang sekolah, kesehatan, atau perkembangan anak-anak mereka. Di tengah riuh itu, Alya merasa dirinya menjadi sebuah bayangan. Ia beranjak dari satu sudut ke sudut lain, tersenyum, tertawa ketika perlu, berusaha mengisi peran yang diberikan padanya, meski di dalam ia merasa seperti peran itu hampa.

Mira mendekatinya, membawa kabar tentang anak keduanya yang baru saja berulang tahun. "Kamu harus datang, Alya! Anak-anak pasti senang melihat kamu," katanya sambil tertawa ringan. Alya hanya mengangguk, tak ingin mengecewakan sahabatnya. Tapi kata-kata Mira seolah menusuknya, menyisakan ruang kosong yang sulit diisi. Di mana ada kebahagiaan, Alya justru merasakan kehampaan, seperti ruang gelap yang semakin besar.

Pulang dari acara itu, Alya duduk lama di dalam mobil, membiarkan matanya terpejam, membiarkan semua perasaan melintas tanpa dicegah. Rasa iri yang sudah begitu lama ia pendam, kekhawatiran akan penilaian keluarga, harapan yang pernah ia gantungkan pada setiap usaha medis yang sudah dicoba---semua itu menghantui seperti bayangan yang tak mau pergi. Ia sadar bahwa rasa ini telah berakar begitu dalam, bahwa semakin ia menolak, semakin kuat ia mencengkram, seperti pohon yang terus tumbuh meski dalam tanah kering.

Ia kembali ke rumah dengan perasaan bercampur, tak mampu memutuskan apakah harus berjuang atau menyerah. Di ruang tamu, ia melihat Rian duduk di sofa, kembali tenggelam dalam dunianya. Mereka hanya bertukar pandang singkat, namun dalam pandangan itu, Alya merasa seperti ada dinding besar di antara mereka. Dinding yang dibangun oleh tahun-tahun penantian, oleh ketakutan dan kekecewaan yang tak pernah tersuarakan.

Di malam itu, saat mereka berbaring dalam diam, Alya ingin bicara. Ingin mengatakan semua perasaannya, ingin mencurahkan semua kekhawatirannya, tapi kata-kata yang datang terasa terlalu lemah, tak mampu menembus dinding yang telah begitu tebal. Di kegelapan kamar, ia hanya bisa mendengar suara napas Rian yang tenang, sementara ia sendiri terjebak dalam pikirannya yang berputar-putar, menunggu pagi yang selalu datang terlambat.

Pagi itu datang tanpa perubahan. Rian telah bangun lebih awal, meninggalkan Alya dalam kesendirian yang kembali memeluknya. Dan dalam keheningan itu, Alya menyadari bahwa ia hidup dalam ketakutan yang samar-samar, ketakutan akan kenyataan yang terus merongrongnya setiap hari: bahwa mungkin, kebahagiaan mereka bukanlah kebahagiaan yang ia harapkan sejak awal.

Kenangan yang Tercecer

Pagi itu, setelah Rian berangkat lebih awal seperti biasa, Alya tetap di dapur. Cangkir kopi di tangannya sudah tak lagi panas, namun ia enggan meletakkannya. Pandangannya mengarah keluar jendela, melihat taman kecil yang mereka rawat bersama, sekali waktu dulu. Di sana ada sisa-sisa tanaman yang pernah tumbuh lebat, dan beberapa bunga liar yang entah dari mana datangnya.

Ia ingat hari-hari di awal pernikahan mereka, ketika semuanya terasa sederhana. Tak ada kekosongan, tak ada penantian. Rian akan menyapanya dengan senyum, mereka akan bercakap-cakap sejenak sebelum berangkat kerja. Kadang-kadang, mereka menyiapkan sarapan bersama, berbaur dalam percakapan kecil tentang hal-hal sepele. Semuanya terasa cukup. Setidaknya, ia pernah merasa cukup.

Ia menyusuri ingatannya tentang malam-malam itu, saat mereka duduk di bawah pohon besar di taman, memandang bintang-bintang yang berpendar di atas mereka. Ia ingat bagaimana Rian bercerita tentang masa kecilnya, bagaimana ia dulu sering melarikan diri ke tempat sunyi untuk sekadar menenangkan diri dari hiruk-pikuk rumah. Ada kerentanan yang ia temukan pada Rian saat itu, sesuatu yang membuatnya merasa dekat, membuatnya percaya bahwa mereka bisa saling mengisi. Tapi sekarang, kenangan itu seperti potongan-potongan gambar yang mulai kabur, ditelan oleh rutinitas dan keheningan yang tak berujung.

Hari ini, rasa kosong itu hadir lagi. Alya merasakan bahwa hidupnya seperti layar tanpa cerita, hanya adegan-adegan acak yang tak lagi memiliki makna. Ia sadar bahwa kenangan mereka, meski hangat, kini terasa seperti cerita dari orang lain, kisah-kisah yang tak lagi mencerminkan hidupnya saat ini. Ia menggenggam cangkirnya lebih erat, seolah-olah dengan begitu ia bisa kembali merasakan hangatnya masa lalu.

***

Siang itu, ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah ibunya, tempat yang jarang ia kunjungi belakangan ini. Rumah itu, meski tak banyak berubah, kini terasa berbeda. Begitu banyak benda-benda kecil yang memanggil ingatannya, potret-potret lama yang terpajang di dinding, meja makan di sudut ruangan, dan tumpukan baju yang menumpuk di kursi tua di kamar ibunya. Ibunya duduk di kursi kayu di sudut ruang tamu, tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Begitu Alya masuk, ibunya hanya tersenyum singkat, lalu kembali diam.

Selama beberapa saat, mereka hanya duduk tanpa bicara, seperti dua orang asing yang kebetulan terjebak di ruangan yang sama. Alya menyadari bahwa dirinya telah lama terjebak dalam rutinitas yang sama, hari-hari yang berlalu tanpa benar-benar meninggalkan jejak. Ibunya memandangnya, mata yang pernah mengasuhnya dengan begitu telaten. "Kamu baik-baik saja, Alya?" suara ibunya berbisik, nyaris tanpa intonasi.

Alya tak menjawab, hanya menatap ke arah lantai, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Ia ingin menceritakan semuanya, ingin mengurai semua perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Alih-alih bicara, ia hanya menggenggam tangan ibunya, mencari kehangatan yang hampir ia lupakan.

Mereka berdua hanya duduk di sana, tanpa bicara, tenggelam dalam keheningan yang sebenarnya sudah lama ada.

Janji yang Tergantung di Udara

Malam itu, Alya memutuskan untuk menunggu Rian pulang. Ia ingin bicara, ingin berbagi tentang perasaannya, ingin menemukan kembali kebersamaan yang pernah mereka miliki. Tapi ketika Rian tiba, lelah tampak di wajahnya. Ia hanya menatap Alya sebentar sebelum beranjak ke kamar mandi. Begitu Rian keluar, Alya sudah menyiapkan makan malam di meja, menunggunya untuk duduk bersama.

Rian memandang meja makan yang sudah tertata rapi. Mereka mulai makan dalam diam, hanya bunyi sendok dan garpu yang memenuhi ruangan. Alya ingin memulai percakapan, tapi setiap kali ia mencoba, kata-kata itu hanya berakhir sebagai suara batin yang tak tersuarakan. Ia merasa seperti telah lupa caranya berbicara dengan Rian, lupa bagaimana menyampaikan isi hatinya tanpa terhalang oleh dinding tak kasatmata yang semakin hari semakin tebal.

Tiba-tiba, Rian menatapnya. "Kamu tahu, aku merasa kita seperti dua orang yang hidup dalam dua dunia yang berbeda," katanya, lirih namun tegas.

Alya terdiam, kalimat itu seperti mengiris. Ia tahu bahwa yang Rian katakan benar, bahwa mereka sudah lama hidup dalam dunia yang terpisah, terjebak dalam rutinitas yang hanya menambah jurang di antara mereka. Tapi, mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rian, rasanya seperti beban yang tak tertahankan, seperti kenyataan yang akhirnya tak bisa dihindari lagi.

Alya menarik napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Rian. Aku ingin kita kembali seperti ketika kita masih bisa bicara tentang apa saja, tanpa merasa terpaksa."

Rian mengangguk, tapi tatapannya tetap hampa. "Aku juga ingin itu, Alya. Tapi setiap kali aku mencoba, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi."

Mereka hanya duduk di sana, dengan keheningan yang kembali hadir, kali ini lebih berat, lebih mengikat. Alya menyadari bahwa keinginan mereka untuk kembali seperti dulu mungkin hanya janji yang tergantung di udara, janji yang tak pernah benar-benar mereka pahami. Mereka hanya bisa saling menatap, dengan perasaan yang tak terucap, dengan harapan yang semakin rapuh.

Di tengah malam itu, Alya merasakan bahwa hidupnya sudah berubah, bahwa apa yang dulu ia yakini sebagai kebahagiaan kini hanya tinggal kenangan yang berpendar redup. Ia merasa seperti berdiri di ambang pintu, di antara harapan yang tak pasti dan kenyataan yang begitu nyata. Dan dalam kebisuan itu, ia tahu, bahwa kata-kata, meski hadir, sering kali tak mampu menyelamatkan apa yang sudah terlanjur terpisah.

Bayangan yang Berlarian

Pada hari Minggu, Alya pergi ke rumah lamanya. Ada satu hal yang ingin ia ambil, sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan di sana, mungkin karena ia berharap bisa menemukan dirinya yang lain di tempat itu---diri yang tak terluka, yang tak tergoyahkan oleh perasaan sunyi. Rumah itu, tempatnya menghabiskan masa kecil, menyimpan jejak-jejak yang menempel di dinding, di lantai yang penuh goresan, di tangga kayu yang berderit.

Ia melangkah ke ruang tamu yang penuh dengan barang-barang lama, lalu menatap rak kayu yang masih berdiri kokoh, dengan beberapa benda yang dulu sangat berarti bagi keluarganya. Ada tumpukan album foto yang mulai lapuk, beberapa lembar majalah yang sudah tak lagi utuh, dan di sana, di pojokan rak, ia melihat kotak kecil berwarna hitam, kotak yang pernah ia simpan dengan hati-hati. Di dalamnya, ada benda-benda yang tak berharga bagi orang lain, namun bagi Alya, benda-benda itu seperti fragmen kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.

Ia membuka kotak itu dan melihat potongan-potongan kecil yang berdesakan, seperti serpihan masa lalu yang tak tertata. Di sana ada kalung yang pernah ia kenakan sewaktu kecil, selembar kertas penuh dengan coretan tangan ayahnya, dan seuntai gelang kain yang ia buat sendiri. Ia memegang kalung itu, mengenang bagaimana ayahnya selalu menuntunnya melewati jalan-jalan sempit di sekitar rumah, melewati tetangga yang menatap mereka dengan senyum simpul, melewati taman kecil yang selalu penuh dengan suara burung di pagi hari.

Ayahnya, sosok yang dulu baginya tak tergantikan, selalu memberikan waktu dan perhatiannya. Ketika Alya masih kecil, ayahnya adalah pusat dari segalanya. Ia ingat bagaimana ayahnya akan berhenti di tengah jalan, menunjuk ke arah langit, lalu berkata bahwa bintang-bintang itu adalah penunjuk arah, tempat ia bisa kembali kapan pun ia merasa hilang. Namun sekarang, bayangan tentang ayahnya seperti potret yang tak lengkap, hanya potongan-potongan kecil yang sudah memudar, tersisa sebagai ingatan yang samar.

Ketika ia menutup kotak itu kembali, ada rasa yang tak terjelaskan, seolah-olah dengan menutupnya, ia menyadari bahwa masa lalunya memang sudah tertutup, tak bisa lagi ia ulangi. Tapi kenangan itu, meski tak bisa ia hidupkan kembali, tetap hadir di setiap sudut kehidupannya, seperti bayangan yang selalu berlarian di belakangnya.

Langkah-Langkah yang Tersendat

Malam itu, Alya duduk di kamar tidur dengan ponsel di tangannya, terdiam. Ia telah menulis pesan untuk Rian, hanya beberapa kalimat singkat yang tak begitu istimewa, namun tetap tak ia kirimkan. Kata-kata di layar itu seolah berperan sebagai saksi bisu dari semua yang ia rasakan, dari perasaan yang tak lagi bisa ia ungkapkan. Ia terdiam, menatap kalimat-kalimat sederhana itu, berharap mungkin di dalamnya ada sesuatu yang bisa menyelamatkan mereka.

Ketika ia akhirnya menghapus pesan itu, Alya merasakan kekosongan yang semakin menguasai hatinya. Ia memandang keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang bersinar di kejauhan. Setiap lampu itu seperti mengingatkan pada langkah-langkah mereka yang dulu seirama, pada tawa yang pernah mereka bagi, pada janji-janji yang pernah mereka buat. Tapi sekarang, langkah-langkah mereka seperti tersendat, seperti kehilangan arah yang dulu begitu jelas.

Ia teringat pada sebuah sore ketika mereka berjalan bersama di pinggir pantai. Waktu itu, Rian berhenti dan mengambil sebutir kerang yang terdampar di tepi air. Rian memandang kerang itu, lalu berkata bahwa kehidupan tak selalu tentang jalan lurus, bahwa ada saatnya kita akan terombang-ambing, terbawa arus. Alya saat itu tertawa, menganggapnya hanya sebagai gurauan, namun sekarang ia menyadari bahwa apa yang Rian katakan adalah kebenaran yang tak bisa ia abaikan. Mereka memang telah terseret, terhanyut oleh waktu, kehilangan pijakan yang dulu mereka percayai sebagai tempat yang aman.

Alya mendengar suara pintu depan terbuka. Rian baru pulang, tampak lelah, namun ada keheningan yang tak terelakkan di antara mereka. Rian meletakkan tasnya di meja, duduk sebentar, lalu menghela napas panjang. Mereka saling menatap, namun dalam pandangan itu tak ada lagi kata yang mampu menyatukan mereka, tak ada lagi percakapan yang bisa mengisi jarak yang terbentang.

Alya akhirnya berkata pelan, "Apakah kita masih memiliki alasan untuk bertahan, Rian?"

Rian menatapnya, tampak mencoba mencari jawaban. Tapi jawaban itu tak pernah datang, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Mereka duduk di sana, saling menatap, namun merasa seolah-olah ada dinding yang tak terlihat yang memisahkan mereka. Rian akhirnya hanya mengangguk pelan, seolah-olah menerima bahwa mereka mungkin sudah tak lagi berada di jalan yang sama.

Dalam keheningan yang begitu dalam, Alya menyadari bahwa mereka mungkin telah sampai pada akhir dari segala harapan yang pernah mereka bangun bersama. Langkah-langkah mereka mungkin tak akan lagi seirama, namun dalam hati kecilnya, ia berharap, mungkin suatu hari mereka bisa menemukan arah mereka kembali, meski hanya sebagai bayangan dari apa yang pernah ada.

Jejak Waktu yang Tertinggal

Alya pergi ke rumah ibunya dengan langkah yang perlahan. Udara sore terasa berat, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain terus berjalan. Ia belum memberitahu ibunya tentang apa yang terjadi dengan Rian. Di kepalanya, segala pertanyaan berputar, tetapi tak satu pun terasa cukup tepat untuk dibicarakan.

Di rumah itu, ibunya duduk di kursi tua di tepi jendela, tempat favoritnya sejak dulu. Alya teringat masa-masa kecilnya, ketika sore hari menjadi saat mereka berbincang. Ibunya selalu bercerita tentang ayahnya, tentang cinta yang tak pernah berubah meski waktu terus berlalu. Ada semacam kehangatan di setiap ceritanya, sesuatu yang memberi Alya rasa aman, seolah tak ada hal buruk yang bisa benar-benar menyentuh mereka.

Mereka duduk berdua, diam. Ibunya menatap keluar jendela, menatap jalanan yang sama seperti dulu, seperti hari-hari ketika ia masih berusaha keras untuk membuat hidup mereka tetap berjalan. Alya ingat betapa ibunya bekerja tanpa lelah, membesarkannya sendirian. Kehidupan mereka penuh dengan keterbatasan, namun ibunya tak pernah mengeluh.

"Ada apa, Alya?" tanya ibunya pelan.

Alya mencoba menjawab, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan. Semua terasa berat, seolah ia harus mengakui pada dirinya sendiri bahwa sesuatu telah hilang. Dalam diam, ia menyadari bahwa pertanyaan ibunya mengingatkannya pada semua percakapan lama mereka, percakapan tentang kehilangan, tentang kesedihan yang tak bisa dihindari, namun tetap mereka hadapi bersama.

Malam itu, mereka duduk dalam kesunyian, seolah-olah tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah, sesuatu yang tak bisa mereka kembalikan. Waktu terus berjalan, namun di rumah itu, dalam keheningan yang membungkus mereka, Alya merasa seperti berada di antara masa lalu dan masa kini, terjebak di antara harapan dan kenyataan.

Suara-suara yang Terpendam

Esok paginya, Alya terbangun dengan perasaan yang ganjil. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Rian. Mereka telah melalui banyak hal bersama, namun dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang mulai meragu. Di benaknya, berputar-putar semua pertemuan pertama mereka, percakapan pertama, tawa yang dulu terasa begitu ringan.

Ketika ia sampai di rumah itu, ia berdiri di depan pintu, mengumpulkan keberanian untuk mengetuk. Pintu itu terbuka, dan Rian berdiri di sana, terlihat lelah. Mereka saling menatap, dan dalam keheningan itu, mereka tahu bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka. Tak ada kata-kata, hanya tatapan yang saling mencari makna di dalam ketidakpastian.

Rian duduk di sofa, dan Alya mengikuti. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya, mereka berdua menyadari bahwa mungkin cinta saja tak selalu cukup. Mereka menghabiskan waktu dalam percakapan yang berputar-putar, mencoba mencari apa yang sebenarnya hilang di antara mereka. Di tengah percakapan itu, Rian mulai menceritakan masa kecilnya, tentang ayahnya yang tak pernah benar-benar hadir, tentang ibu yang selalu bekerja tanpa henti. Suaranya bergetar, ada emosi yang tersimpan di sana, sesuatu yang Alya tak pernah benar-benar pahami sebelumnya.

Rian bercerita tentang mimpi-mimpinya, tentang keinginannya untuk memiliki kehidupan yang berbeda dari keluarganya. Ia ingin membangun sesuatu yang kuat, sesuatu yang tak bisa dihancurkan oleh waktu. Namun, di hadapan Alya, ia mengakui bahwa mungkin dirinya sendiri yang tersesat dalam impian itu, tersesat dalam harapan yang ia ciptakan.

Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami rasa sakit yang selama ini tak pernah terlihat. Dalam hening, mereka berbagi luka-luka yang tersembunyi, berbagi perasaan yang tak pernah terucap. Di sana, di tengah keheningan, mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya, meski tahu bahwa kedekatan itu mungkin hanya untuk sementara.

Malam itu, mereka berbicara hingga larut, menceritakan semua hal yang selama ini tertahan. Mereka berbicara tentang harapan yang tak lagi sama, tentang cinta yang mulai berubah bentuk. Dan di antara percakapan itu, mereka menyadari bahwa mungkin mereka sudah sampai di persimpangan yang tak terelakkan, sebuah persimpangan yang harus mereka hadapi meski tak ada yang siap.

Saat pagi datang, Alya dan Rian masih duduk berdua, dalam keheningan yang tak bisa mereka hindari. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka mungkin sudah mencapai akhir, namun dalam keheningan itu, ada kedamaian yang tak bisa mereka jelaskan, sebuah penerimaan atas kenyataan yang selama ini mereka abaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun