Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Jalan Pulang

4 November 2024   11:04 Diperbarui: 4 November 2024   11:06 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Alya dan Rian via tom-talks.org

Pertemuan arisan hari ini tak jauh berbeda. Kakaknya, adik ipar, para sepupu, mereka semua datang bersama anak-anak mereka. Ruangan penuh dengan suara tawa dan tangisan, wajah-wajah yang bersinar saat berbicara tentang sekolah, kesehatan, atau perkembangan anak-anak mereka. Di tengah riuh itu, Alya merasa dirinya menjadi sebuah bayangan. Ia beranjak dari satu sudut ke sudut lain, tersenyum, tertawa ketika perlu, berusaha mengisi peran yang diberikan padanya, meski di dalam ia merasa seperti peran itu hampa.

Mira mendekatinya, membawa kabar tentang anak keduanya yang baru saja berulang tahun. "Kamu harus datang, Alya! Anak-anak pasti senang melihat kamu," katanya sambil tertawa ringan. Alya hanya mengangguk, tak ingin mengecewakan sahabatnya. Tapi kata-kata Mira seolah menusuknya, menyisakan ruang kosong yang sulit diisi. Di mana ada kebahagiaan, Alya justru merasakan kehampaan, seperti ruang gelap yang semakin besar.

Pulang dari acara itu, Alya duduk lama di dalam mobil, membiarkan matanya terpejam, membiarkan semua perasaan melintas tanpa dicegah. Rasa iri yang sudah begitu lama ia pendam, kekhawatiran akan penilaian keluarga, harapan yang pernah ia gantungkan pada setiap usaha medis yang sudah dicoba---semua itu menghantui seperti bayangan yang tak mau pergi. Ia sadar bahwa rasa ini telah berakar begitu dalam, bahwa semakin ia menolak, semakin kuat ia mencengkram, seperti pohon yang terus tumbuh meski dalam tanah kering.

Ia kembali ke rumah dengan perasaan bercampur, tak mampu memutuskan apakah harus berjuang atau menyerah. Di ruang tamu, ia melihat Rian duduk di sofa, kembali tenggelam dalam dunianya. Mereka hanya bertukar pandang singkat, namun dalam pandangan itu, Alya merasa seperti ada dinding besar di antara mereka. Dinding yang dibangun oleh tahun-tahun penantian, oleh ketakutan dan kekecewaan yang tak pernah tersuarakan.

Di malam itu, saat mereka berbaring dalam diam, Alya ingin bicara. Ingin mengatakan semua perasaannya, ingin mencurahkan semua kekhawatirannya, tapi kata-kata yang datang terasa terlalu lemah, tak mampu menembus dinding yang telah begitu tebal. Di kegelapan kamar, ia hanya bisa mendengar suara napas Rian yang tenang, sementara ia sendiri terjebak dalam pikirannya yang berputar-putar, menunggu pagi yang selalu datang terlambat.

Pagi itu datang tanpa perubahan. Rian telah bangun lebih awal, meninggalkan Alya dalam kesendirian yang kembali memeluknya. Dan dalam keheningan itu, Alya menyadari bahwa ia hidup dalam ketakutan yang samar-samar, ketakutan akan kenyataan yang terus merongrongnya setiap hari: bahwa mungkin, kebahagiaan mereka bukanlah kebahagiaan yang ia harapkan sejak awal.

Kenangan yang Tercecer

Pagi itu, setelah Rian berangkat lebih awal seperti biasa, Alya tetap di dapur. Cangkir kopi di tangannya sudah tak lagi panas, namun ia enggan meletakkannya. Pandangannya mengarah keluar jendela, melihat taman kecil yang mereka rawat bersama, sekali waktu dulu. Di sana ada sisa-sisa tanaman yang pernah tumbuh lebat, dan beberapa bunga liar yang entah dari mana datangnya.

Ia ingat hari-hari di awal pernikahan mereka, ketika semuanya terasa sederhana. Tak ada kekosongan, tak ada penantian. Rian akan menyapanya dengan senyum, mereka akan bercakap-cakap sejenak sebelum berangkat kerja. Kadang-kadang, mereka menyiapkan sarapan bersama, berbaur dalam percakapan kecil tentang hal-hal sepele. Semuanya terasa cukup. Setidaknya, ia pernah merasa cukup.

Ia menyusuri ingatannya tentang malam-malam itu, saat mereka duduk di bawah pohon besar di taman, memandang bintang-bintang yang berpendar di atas mereka. Ia ingat bagaimana Rian bercerita tentang masa kecilnya, bagaimana ia dulu sering melarikan diri ke tempat sunyi untuk sekadar menenangkan diri dari hiruk-pikuk rumah. Ada kerentanan yang ia temukan pada Rian saat itu, sesuatu yang membuatnya merasa dekat, membuatnya percaya bahwa mereka bisa saling mengisi. Tapi sekarang, kenangan itu seperti potongan-potongan gambar yang mulai kabur, ditelan oleh rutinitas dan keheningan yang tak berujung.

Hari ini, rasa kosong itu hadir lagi. Alya merasakan bahwa hidupnya seperti layar tanpa cerita, hanya adegan-adegan acak yang tak lagi memiliki makna. Ia sadar bahwa kenangan mereka, meski hangat, kini terasa seperti cerita dari orang lain, kisah-kisah yang tak lagi mencerminkan hidupnya saat ini. Ia menggenggam cangkirnya lebih erat, seolah-olah dengan begitu ia bisa kembali merasakan hangatnya masa lalu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun