Rian bercerita tentang mimpi-mimpinya, tentang keinginannya untuk memiliki kehidupan yang berbeda dari keluarganya. Ia ingin membangun sesuatu yang kuat, sesuatu yang tak bisa dihancurkan oleh waktu. Namun, di hadapan Alya, ia mengakui bahwa mungkin dirinya sendiri yang tersesat dalam impian itu, tersesat dalam harapan yang ia ciptakan.
Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami rasa sakit yang selama ini tak pernah terlihat. Dalam hening, mereka berbagi luka-luka yang tersembunyi, berbagi perasaan yang tak pernah terucap. Di sana, di tengah keheningan, mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya, meski tahu bahwa kedekatan itu mungkin hanya untuk sementara.
Malam itu, mereka berbicara hingga larut, menceritakan semua hal yang selama ini tertahan. Mereka berbicara tentang harapan yang tak lagi sama, tentang cinta yang mulai berubah bentuk. Dan di antara percakapan itu, mereka menyadari bahwa mungkin mereka sudah sampai di persimpangan yang tak terelakkan, sebuah persimpangan yang harus mereka hadapi meski tak ada yang siap.
Saat pagi datang, Alya dan Rian masih duduk berdua, dalam keheningan yang tak bisa mereka hindari. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka mungkin sudah mencapai akhir, namun dalam keheningan itu, ada kedamaian yang tak bisa mereka jelaskan, sebuah penerimaan atas kenyataan yang selama ini mereka abaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H