Rian menatapnya, tampak mencoba mencari jawaban. Tapi jawaban itu tak pernah datang, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Mereka duduk di sana, saling menatap, namun merasa seolah-olah ada dinding yang tak terlihat yang memisahkan mereka. Rian akhirnya hanya mengangguk pelan, seolah-olah menerima bahwa mereka mungkin sudah tak lagi berada di jalan yang sama.
Dalam keheningan yang begitu dalam, Alya menyadari bahwa mereka mungkin telah sampai pada akhir dari segala harapan yang pernah mereka bangun bersama. Langkah-langkah mereka mungkin tak akan lagi seirama, namun dalam hati kecilnya, ia berharap, mungkin suatu hari mereka bisa menemukan arah mereka kembali, meski hanya sebagai bayangan dari apa yang pernah ada.
Jejak Waktu yang Tertinggal
Alya pergi ke rumah ibunya dengan langkah yang perlahan. Udara sore terasa berat, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain terus berjalan. Ia belum memberitahu ibunya tentang apa yang terjadi dengan Rian. Di kepalanya, segala pertanyaan berputar, tetapi tak satu pun terasa cukup tepat untuk dibicarakan.
Di rumah itu, ibunya duduk di kursi tua di tepi jendela, tempat favoritnya sejak dulu. Alya teringat masa-masa kecilnya, ketika sore hari menjadi saat mereka berbincang. Ibunya selalu bercerita tentang ayahnya, tentang cinta yang tak pernah berubah meski waktu terus berlalu. Ada semacam kehangatan di setiap ceritanya, sesuatu yang memberi Alya rasa aman, seolah tak ada hal buruk yang bisa benar-benar menyentuh mereka.
Mereka duduk berdua, diam. Ibunya menatap keluar jendela, menatap jalanan yang sama seperti dulu, seperti hari-hari ketika ia masih berusaha keras untuk membuat hidup mereka tetap berjalan. Alya ingat betapa ibunya bekerja tanpa lelah, membesarkannya sendirian. Kehidupan mereka penuh dengan keterbatasan, namun ibunya tak pernah mengeluh.
"Ada apa, Alya?" tanya ibunya pelan.
Alya mencoba menjawab, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan. Semua terasa berat, seolah ia harus mengakui pada dirinya sendiri bahwa sesuatu telah hilang. Dalam diam, ia menyadari bahwa pertanyaan ibunya mengingatkannya pada semua percakapan lama mereka, percakapan tentang kehilangan, tentang kesedihan yang tak bisa dihindari, namun tetap mereka hadapi bersama.
Malam itu, mereka duduk dalam kesunyian, seolah-olah tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah, sesuatu yang tak bisa mereka kembalikan. Waktu terus berjalan, namun di rumah itu, dalam keheningan yang membungkus mereka, Alya merasa seperti berada di antara masa lalu dan masa kini, terjebak di antara harapan dan kenyataan.
Suara-suara yang Terpendam
Esok paginya, Alya terbangun dengan perasaan yang ganjil. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Rian. Mereka telah melalui banyak hal bersama, namun dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang mulai meragu. Di benaknya, berputar-putar semua pertemuan pertama mereka, percakapan pertama, tawa yang dulu terasa begitu ringan.
Ketika ia sampai di rumah itu, ia berdiri di depan pintu, mengumpulkan keberanian untuk mengetuk. Pintu itu terbuka, dan Rian berdiri di sana, terlihat lelah. Mereka saling menatap, dan dalam keheningan itu, mereka tahu bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka. Tak ada kata-kata, hanya tatapan yang saling mencari makna di dalam ketidakpastian.
Rian duduk di sofa, dan Alya mengikuti. Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya, mereka berdua menyadari bahwa mungkin cinta saja tak selalu cukup. Mereka menghabiskan waktu dalam percakapan yang berputar-putar, mencoba mencari apa yang sebenarnya hilang di antara mereka. Di tengah percakapan itu, Rian mulai menceritakan masa kecilnya, tentang ayahnya yang tak pernah benar-benar hadir, tentang ibu yang selalu bekerja tanpa henti. Suaranya bergetar, ada emosi yang tersimpan di sana, sesuatu yang Alya tak pernah benar-benar pahami sebelumnya.