Siang itu, ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah ibunya, tempat yang jarang ia kunjungi belakangan ini. Rumah itu, meski tak banyak berubah, kini terasa berbeda. Begitu banyak benda-benda kecil yang memanggil ingatannya, potret-potret lama yang terpajang di dinding, meja makan di sudut ruangan, dan tumpukan baju yang menumpuk di kursi tua di kamar ibunya. Ibunya duduk di kursi kayu di sudut ruang tamu, tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Begitu Alya masuk, ibunya hanya tersenyum singkat, lalu kembali diam.
Selama beberapa saat, mereka hanya duduk tanpa bicara, seperti dua orang asing yang kebetulan terjebak di ruangan yang sama. Alya menyadari bahwa dirinya telah lama terjebak dalam rutinitas yang sama, hari-hari yang berlalu tanpa benar-benar meninggalkan jejak. Ibunya memandangnya, mata yang pernah mengasuhnya dengan begitu telaten. "Kamu baik-baik saja, Alya?" suara ibunya berbisik, nyaris tanpa intonasi.
Alya tak menjawab, hanya menatap ke arah lantai, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Ia ingin menceritakan semuanya, ingin mengurai semua perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Alih-alih bicara, ia hanya menggenggam tangan ibunya, mencari kehangatan yang hampir ia lupakan.
Mereka berdua hanya duduk di sana, tanpa bicara, tenggelam dalam keheningan yang sebenarnya sudah lama ada.
Janji yang Tergantung di Udara
Malam itu, Alya memutuskan untuk menunggu Rian pulang. Ia ingin bicara, ingin berbagi tentang perasaannya, ingin menemukan kembali kebersamaan yang pernah mereka miliki. Tapi ketika Rian tiba, lelah tampak di wajahnya. Ia hanya menatap Alya sebentar sebelum beranjak ke kamar mandi. Begitu Rian keluar, Alya sudah menyiapkan makan malam di meja, menunggunya untuk duduk bersama.
Rian memandang meja makan yang sudah tertata rapi. Mereka mulai makan dalam diam, hanya bunyi sendok dan garpu yang memenuhi ruangan. Alya ingin memulai percakapan, tapi setiap kali ia mencoba, kata-kata itu hanya berakhir sebagai suara batin yang tak tersuarakan. Ia merasa seperti telah lupa caranya berbicara dengan Rian, lupa bagaimana menyampaikan isi hatinya tanpa terhalang oleh dinding tak kasatmata yang semakin hari semakin tebal.
Tiba-tiba, Rian menatapnya. "Kamu tahu, aku merasa kita seperti dua orang yang hidup dalam dua dunia yang berbeda," katanya, lirih namun tegas.
Alya terdiam, kalimat itu seperti mengiris. Ia tahu bahwa yang Rian katakan benar, bahwa mereka sudah lama hidup dalam dunia yang terpisah, terjebak dalam rutinitas yang hanya menambah jurang di antara mereka. Tapi, mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rian, rasanya seperti beban yang tak tertahankan, seperti kenyataan yang akhirnya tak bisa dihindari lagi.
Alya menarik napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Rian. Aku ingin kita kembali seperti ketika kita masih bisa bicara tentang apa saja, tanpa merasa terpaksa."
Rian mengangguk, tapi tatapannya tetap hampa. "Aku juga ingin itu, Alya. Tapi setiap kali aku mencoba, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi."
Mereka hanya duduk di sana, dengan keheningan yang kembali hadir, kali ini lebih berat, lebih mengikat. Alya menyadari bahwa keinginan mereka untuk kembali seperti dulu mungkin hanya janji yang tergantung di udara, janji yang tak pernah benar-benar mereka pahami. Mereka hanya bisa saling menatap, dengan perasaan yang tak terucap, dengan harapan yang semakin rapuh.