HAM, dalam kenyataan yang lebih sederhana, adalah hak untuk dihormati dan diberi keadilan. HAM bukan soal gedung tinggi atau anggaran besar.
Ia adalah hak setiap warga negara untuk dihargai, untuk hidup tanpa takut, untuk berbicara tanpa merasa terancam. Di negeri ini, HAM seharusnya berarti pengakuan, bukan simbol.
Ikhsan Yosari dari SETARA Institute menyebutkan bahwa yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan nyata.
Kementerian HAM harus bisa menjamin bahwa aparat penegak hukum melindungi hak setiap warga negara, bukan sekadar mendirikan proyek besar yang bisa menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Dalam kenyataannya, orang hanya butuh jaminan untuk dihormati (tirto.id, 29/10/2024).
Bagi rakyat biasa, HAM bukan mimpi besar tentang gedung-gedung megah. HAM adalah hak yang sederhana tapi nyata. Hak yang tak perlu diumumkan atau dijanjikan. Ia harus hidup dalam tindakan nyata, dalam sistem yang jujur dan tulus.
Beban Kepercayaan
Banyak yang merasa Pigai telah salah arah. Di negeri ini, rakyat tidak perlu janji besar yang mewah. Mereka butuh kepastian bahwa pelanggaran HAM tidak akan diabaikan.
Mereka tak butuh kata-kata atau proyek raksasa, tapi tindakan nyata. Di tengah isu yang berlarut-larut, di negara yang terbelit kasus-kasus lama, mimpi Pigai terasa jauh dari kenyataan.
Rakyat butuh pemimpin yang tahu mendengar, yang memahami bahwa HAM adalah tentang hati dan keberanian.
Ikhsan Yosari mengatakan dengan lantang bahwa Pigai seharusnya mendesak penuntasan kasus-kasus yang masih menggantung, bukan sekadar berfokus pada rencana besar. "Indonesia tidak butuh ikon, tetapi keadilan nyata yang bisa dirasakan," kata Ikhsan (tirto.id, 29/10/2024).
Simbol atau Realita?
Natalius Pigai adalah simbol harapan baru. Tapi harapan ini tak bisa terus menggantung. Rakyat menginginkan janji yang sederhana dan bisa dirasakan.
Jika Pigai ingin dikenang, maka prioritasnya haruslah keadilan yang nyata bagi korban, bukan proyek besar yang hanya akan menjadi jejak kosong.