Apakah kita perlu universitas HAM atau sekadar pemimpin yang tahu cara mendengar?
Di tanah yang lelah, janji besar sering dianggap sebagai pelarian. Natalius Pigai, Menteri Hak Asasi Manusia yang baru saja dilantik, membawa janji itu: mimpi besar tentang universitas HAM bertaraf internasional.
Bagi sebagian orang, ini adalah harapan. Bagi yang lain, ini cuma janji kosong yang mengaburkan kenyataan.
Pigai bicara soal gedung dan pusat riset, laboratorium HAM, dan rumah sakit yang akan melayani korban pelanggaran HAM.
Ia membayangkan kampus yang akan menjadi ikon bagi Indonesia, tempat dunia berkumpul untuk belajar hak asasi.
Pigai ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan sekadar penonton dalam isu HAM global. Tapi, banyak yang tak percaya.
Di negara ini, gedung megah sering kali menjelma jadi simbol yang tak pernah menghapus luka.
Harapan dan Kekecewaan di Mata Rakyat
Pigai membayangkan kampus itu akan membangkitkan kesadaran HAM di seluruh desa di negeri ini. Di akun X miliknya, ia berkata bahwa universitas itu akan dipimpin oleh tokoh berkelas dunia.
"Universitas ini bukan untuk gaya-gayaan," katanya.
Tapi komentar skeptis cepat menyeruak. Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri, tak ragu menyebutnya "tidak masuk akal."
"Gagasan ini tidak akan dikabulkan," katanya dengan nada sinis. "Presiden tak akan setuju dengan ini."