Saat banyak orang berpikir tentang pernikahan, mereka memikirkan kemeriahan resepsi, tawa bahagia, atau mimpi indah tentang kebersamaan. Tapi bagi yang pernah benar-benar menjalani pernikahan, anggapan itu sering kali keliru.
Pernikahan adalah sebuah seni---seni bertahan, bertanya, dan memahami, jauh di atas segalanya. Bahkan filsuf paling cerdas sekalipun tidak pernah benar-benar menemukan jawabannya.
Kita ingat Socrates, sosok yang kerap menjadi sumber pertanyaan-pertanyaan mendasar kehidupan, yang hidup dalam ironi bersama istrinya, Xanthippe, dan kisah mereka adalah cerminan dari segala hal yang abadi: tentang cinta, kelelahan, kebijaksanaan, dan, tentu saja, ketidaksempurnaan manusia.
Socrates adalah pria yang tidak pernah selesai bertanya. Ia hidup bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk memancing kita berpikir lebih dalam. Dan mungkin itulah alasan ia menikah dengan Xanthippe, perempuan yang bisa dianggap sebagai kritik hidup baginya.
Pernikahan mereka tidak seperti dongeng klasik; ini lebih mirip sebuah drama eksistensial dengan sentuhan absurditas. Xanthippe tidak menerima kehidupan Socrates dengan mudah, dan Socrates pun tidak sepenuhnya mengerti apa yang Xanthippe inginkan darinya.
Namun, di dalam ketegangan yang berlangsung di antara mereka, ada sebuah pelajaran bagi kita semua yang pernah mencicipi pahit manisnya hubungan dua manusia.
Mengapa Socrates Menikah?
Banyak orang bertanya, mengapa Socrates, filsuf besar yang hidup untuk kebenaran, memilih jalan menikah? Bukankah ia tahu bahwa menikah akan mengikatnya pada dunia realitas yang tak mudah?
Pada suatu wawancara dengan filsuf masa kini di Aeon.co, banyak dari mereka yang menyebutkan, "Socrates menikah bukan untuk bahagia, tetapi untuk mengerti hidup lebih dalam."
Xanthippe adalah antitesis dari dunia abstraknya. Ia tidak ingin memahami filsafat; ia ingin Socrates membawa pulang makan malam. Di sini, kita melihat ketidaksesuaian antara dunia ideal Socrates dan tuntutan praktis hidup bersama.
Mereka yang merasa pernikahan adalah jalan menuju kebahagiaan mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang membuat sebuah hubungan bertahan.
Socrates mungkin telah mengenali bahwa ia membutuhkan Xanthippe sebagai semacam cermin---seseorang yang akan mengajaknya kembali pada realitas, pada dunia di mana kebijaksanaan tidak seindah dalam teori, di mana kebutuhan dasar manusia lebih penting dari apa pun.
Dan bukankah ini ironi yang luar biasa? Filsuf yang dikenal sebagai bapak pemikiran kritis justru menemukan kebijaksanaan melalui ketegangan tanpa ujung dengan istrinya.
Bagi mereka yang penasaran, Socrates mengajarkan bahwa pernikahan bisa menjadi sebuah bentuk pengabdian tanpa jawaban.
Ketika Xanthippe Menjadi 'Penentang' Filsafat
Xanthippe mungkin bukan istri yang paling sabar, tetapi ia jujur dalam perannya. Masyarakat sering menggambarkannya sebagai perempuan yang berang, selalu menentang ide-ide besar suaminya.
Dalam dunia modern, dia mungkin dianggap 'toxic' atau bahkan terobsesi dengan hal-hal sepele. Tetapi, bukankah dia hanya menginginkan sesuatu yang layak bagi keluarganya?
Bukankah ia, seorang perempuan sederhana, hanya ingin rumah, kehangatan, makanan, dan suaminya di sana, alih-alih kutipan-kutipan tentang hakikat hidup?
Socrates dan Xanthippe adalah refleksi dari konflik abadi antara idealisme dan realisme.
Bagi Socrates, dunia adalah ruang untuk mencari dan mempertanyakan, namun bagi Xanthippe, kehidupan rumah tangga adalah cerminan stabilitas dan ketenangan.
Mereka bertemu di antara dua dunia ini, dan meski sering bertentangan, itulah yang akhirnya membentuk mereka sebagai pasangan yang luar biasa unik.
Di sini, kita belajar bahwa pernikahan bukan soal menemukan seseorang yang 'sama', tetapi soal menerima perbedaan yang tak bisa dijembatani.
Xanthippe memberi warna bagi Socrates yang selama ini hanya hidup dalam bayangan ide-ide besar.
Ironi Pernikahan: Bahagia atau Menjadi Filsuf
Socrates pernah berkata, "Jika kamu menikah dengan perempuan baik, kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi filsuf."
Di sini, ia bukan hanya melontarkan kalimat bijak untuk mencairkan suasana, tetapi benar-benar memahami bahwa pernikahan adalah pilihan yang membuat kita berpikir lebih dalam, menguji batas sabar dan logika kita.
Di masa kini, kita bisa melihat bagaimana konsep ini hadir dalam hubungan modern: pasangan yang merasa sendiri meskipun hidup bersama, kesenjangan antara impian bersama dan kenyataan hidup --Lonely Marriage.
Filsuf modern seperti Alain de Botton sering menyebutkan bahwa pernikahan adalah bentuk hubungan yang dibangun bukan untuk membuat kita bahagia, tetapi untuk membuat kita berkembang, menghadapi ego, dan menantang pandangan hidup.
Bagi Socrates, Xanthippe adalah katalis yang menjadikannya lebih mendalam dan tajam. Dan begitulah kita semua: pernikahan kadang membawa kita pada titik di mana kita menjadi pribadi yang lebih dalam, pribadi yang lebih bijaksana. Tentu, bukan tanpa pertarungan batin.
Socrates, Sang Penghindar Tanggung Jawab?
Di zaman sekarang, kita menyebut orang seperti Socrates sebagai "penghindar tanggung jawab." Ia sibuk mengejar kebijaksanaan di luar rumah, berbincang dengan warga Athena, tetapi jarang mengurus kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Xanthippe harus hidup dengan suami yang lebih sibuk menanyakan hakikat hidup daripada mencari nafkah.
Jika Socrates hidup di era digital, mungkin ia adalah seorang yang menghabiskan waktu berjam-jam di forum diskusi filsafat, berdebat tentang kebenaran, tanpa pernah membantu menyelesaikan hal-hal praktis di rumahnya sendiri.
Mungkin inilah mengapa Xanthippe kadang merasa lelah dan frustrasi. Bagi Socrates, kehidupan adalah panggung bagi pertanyaan abadi, tetapi bagi Xanthippe, pernikahan adalah tempat ia berharap bisa menemukan jawaban sederhana untuk masalah sehari-hari.
Ini adalah kisah klasik dari pasangan yang hidup dalam ketegangan konstan antara mimpi besar dan kebutuhan praktis. Mereka tidak pernah sepenuhnya bahagia, tetapi justru di sana mereka menemukan cara untuk saling menerima.
Menerima Ketidaksempurnaan dalam Pernikahan
Pada akhirnya, pernikahan Socrates dan Xanthippe mengajarkan kita untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari perjalanan bersama.
Ketika dua orang menikah, mereka bukan mencari akhir yang bahagia, tetapi mereka sedang menjalani sebuah proses yang berkelanjutan---proses memahami diri sendiri dan orang lain.
Seperti yang sering diulas dalam blog BrainPickings karya Maria Popova, pernikahan adalah seni menerima kekurangan, sebuah latihan yang membuat kita tidak hanya memahami pasangan kita, tetapi juga diri kita sendiri.
Xanthippe mungkin tidak akan pernah benar-benar mengerti dunia Socrates, tetapi ia memilih untuk hidup bersamanya, dan mungkin itulah bentuk cinta paling murni yang bisa kita harapkan.
Kisah mereka mengingatkan kita bahwa tidak ada pasangan yang sempurna, dan pernikahan yang abadi bukan berarti tanpa masalah.
Malah, justru di dalam konflik-konflik itulah kita belajar lebih banyak tentang manusia dan kebijaksanaan. Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali kata-kata Socrates tentang kebahagiaan dalam pernikahan. Ia mungkin benar, kita bisa menjadi bahagia atau menjadi filsuf, tetapi pada akhirnya, keduanya membawa kita pada kebijaksanaan.
Dalam dunia yang penuh idealisme dan mimpi, kisah Socrates dan Xanthippe adalah pelajaran tentang menjalani kenyataan.
Menjadi filsuf mungkin terdengar rumit, tetapi bagi mereka yang menikah, kita tahu bahwa menjadi bijak tidak datang tanpa perjuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H