Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Ketika Cinta Mulai Memudar, Panduan Sederhana Mengatasi Kesepian dalam Pernikahan

27 Oktober 2024   08:13 Diperbarui: 27 Oktober 2024   08:33 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan drama Korea 'The World of the Married' via tokopedia.com

Sudah lama aku bertanya-tanya, apakah pernikahan harus berarti hilangnya sebagian dari diri kita? Apakah, seperti kata-kata yang sering kubaca, cinta itu memang indah namun selalu beriringan dengan kehilangan?

Dalam percakapan-percakapan panjang di kepalaku, menikah seperti melangkah ke dunia di mana "kita" lebih penting daripada "aku".

Namun, di antara keindahan dan keteguhan janji itu, ada sebuah risiko yang kerap luput dari bayangan: kesepian dalam pernikahan.

Aku bertanya-tanya, apa yang menyebabkan sebuah ikatan yang dianggap sakral justru bisa menyisakan ruang kosong di hati?

Barangkali, hal ini berawal dari harapan-harapan yang begitu tinggi, bahwa bersama seseorang kita tidak lagi merasa sepi, atau mungkin sekadar keyakinan bahwa kebahagiaan akan bertambah dua kali lipat ketika ada yang menemani.

Hari 1: Pertemuan Dua Orang yang Saling Merindu

Dalam tulisannya yang lembut dan reflektif, Alissa Wilkinson di Vox pernah menuliskan bahwa rasa cinta sejati tumbuh dari kerelaan kita untuk melihat pasangan dalam keadaan rapuh, bukan dari sekadar senyum di foto atau canda ringan di sore hari.

Banyak orang memulai pernikahan dengan harapan besar, tetapi juga mungkin dengan ketakutan tersembunyi bahwa rasa cinta yang murni itu hanya sebuah khayalan (vox.com, 10/10/2023).

Wilkinson menambahkan, sering kali kita gagal menyadari bahwa keintiman yang sebenarnya tidak hanya datang dari sentuhan fisik, tetapi dari pemahaman yang mendalam---dan ini adalah perjuangan seumur hidup.

Lalu apa yang terjadi saat rasa kesepian datang, saat percakapan mendalam berubah menjadi obrolan datar, atau saat pulang ke rumah lebih sering terasa seperti formalitas daripada panggilan hati? Bukankah justru di sinilah "lonely marriage" itu dimulai?

Hari 32: Kehilangan Koneksi

Di blog pribadinya, penulis dan psikolog Sue Johnson mencatat bahwa komunikasi menjadi penanda utama sehat tidaknya sebuah hubungan. Ketika komunikasi tidak berjalan lancar, tak jarang pasangan kehilangan koneksi emosional yang sangat berharga.

Saat perasaan ini terus berlanjut, kita mulai merasakan sepi yang aneh---sepi yang justru datang dari orang terdekat kita. Johnson mengatakan, "Jika kamu ingin dicintai, kamu harus siap mencintai dan dicintai dalam keadaan rapuh" (psychologytoday.com, 18/09/2023).

Ada sesuatu yang menggelitik dalam kata-katanya. Pernikahan, ternyata, tidak sekadar tentang berada di sisi seseorang, melainkan tentang meruntuhkan benteng-benteng emosional kita. Namun, di balik kenyataan ini, muncul pertanyaan yang sulit: bagaimana jika keterbukaan ini tidak terbalas?

Hari 85: Dinding-Dinding Tak Kasat Mata

Saat dinding tak kasat mata mulai terbentuk di antara dua orang, hal-hal kecil yang tak diselesaikan sering kali menjadi bom waktu dalam hubungan. Suatu kali, seorang teman bercerita bahwa rutinitas tanpa variasi membunuh hubungan mereka perlahan-lahan.

Seiring waktu, mereka semakin terjebak dalam kebiasaan yang membosankan, seperti layaknya robot yang menjalani hidup berulang-ulang. Mereka lupa bahwa cinta, seperti tanaman, membutuhkan pemeliharaan dan perhatian agar tumbuh dan tidak mati layu.

Penelitian yang diterbitkan di Journal of Marriage and Family mengungkapkan bahwa pasangan yang meluangkan waktu untuk kegiatan baru bersama memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi.

Ketika rutinitas terlalu menguasai, tidak jarang kita lupa bagaimana rasanya tertawa bersama pasangan, atau merasakan kegembiraan yang dulu pernah begitu mudah hadir (marriageandfamily.com, 02/09/2023).

Aku teringat obrolan yang menggambarkan ini dengan baik: "Di mana cinta tanpa petualangan, di situlah ia menjadi tenang, mungkin mati."

Hari 120: Jalan Memisah atau Bersama Lagi?

Terkadang, perasaan sepi dalam pernikahan datang karena kita masing-masing berubah. Seseorang pernah mengatakan kepadaku, "Kamu tidak lagi seperti yang dulu."

Saat itu, aku berpikir, apakah ini sebuah pujian atau penilaian? Perbedaan dalam perjalanan hidup dan tujuan bisa membuat pasangan perlahan menjauh, karena tidak lagi melihat masa depan yang sama.

Ketika ini terjadi, mungkin perlu adanya refleksi pribadi: apakah kita hanya berjalan di jalur yang berbeda atau sedang mencari jalan baru untuk bersama?

Dalam sebuah artikel yang menyentuh di The New Yorker, Larissa MacFarquhar membahas bagaimana banyak pasangan, khususnya yang sudah lama menikah, merasa takut akan perubahan dan lebih memilih mempertahankan status quo meski terjebak dalam kesepian.

Ia menulis, "Perubahan adalah musuh yang tersembunyi di balik layar. Tetapi mungkin, ia adalah sekutu bagi mereka yang berani menggenggamnya" (newyorker.com, 14/11/2023).

Perubahan tidak harus membawa kita pada perpisahan, tetapi bisa menjadi peluang untuk memahami kembali satu sama lain.

Hari 200: Apakah Pernikahan Masih Memiliki Harapan?

Saat aku menulis ini, aku merasa bahwa untuk menghindari "lonely marriage", bukan berarti kita harus menghindari masalah. Sebaliknya, kita harus terus mencari cara untuk membangun kembali kedekatan dan keterbukaan.

Menemukan keberanian untuk jujur tentang perasaan dan keinginan kita kepada pasangan mungkin terasa menakutkan, tapi inilah yang bisa menghidupkan kembali cinta.

Ketika komunikasi yang bermakna hadir, kita memberi ruang bagi pasangan untuk benar-benar hadir dan bukan sekadar berada.

Aku membaca sebuah penelitian dari American Journal of Sociology yang mengatakan bahwa dukungan sosial yang kuat di luar pernikahan, seperti melalui persahabatan yang mendalam atau keterlibatan komunitas, membantu individu menghadapi kesepian dalam pernikahan.

Menemukan diri kita melalui jalan lain dan kemudian membawa kembali kekayaan itu kepada pasangan dapat membantu mengisi kesenjangan emosional yang sering kali muncul (sociologyjournal.org, 08/08/2023).

Hari 365: Mencintai Kembali dengan Cara yang Baru

Kini, di hari-hari yang tenang, aku melihat pernikahan sebagai sebuah perjalanan yang tak berhenti untuk belajar mencintai.

Pernikahan bukan soal berapa kali kita merasa bahagia, tetapi seberapa sering kita berani menghadapi perasaan sepi bersama-sama.

Dalam perjalanannya, kesepian dalam pernikahan bisa hadir kapan saja, tetapi kita bisa mengatasinya bersama jika memiliki komitmen untuk terus memperjuangkan hubungan.

Pada akhirnya, kutemukan sebuah pesan sederhana namun kuat dari seorang penulis favorit, bell hooks, yang mengatakan, "Cinta adalah tindakan keberanian, dan memutuskan untuk tetap mencintai meskipun dalam keterasingan adalah pilihan yang hanya bisa dibuat oleh jiwa yang berani" (brainpickings.org, 21/12/2023).

Aku setuju dengannya. Setiap hari adalah pilihan untuk mencintai, untuk menghadirkan diri dengan tulus di sisi orang yang kita kasihi, meski terkadang menghadapi kesepian yang tak terduga.

Penutup: Harapan di Antara Rasa Sepi

Barangkali, "lonely marriage" adalah sebuah proses, seperti hidup itu sendiri. Ia bukanlah akhir, melainkan sebuah pengingat bahwa kita, pada dasarnya, adalah manusia yang penuh kerinduan akan kebersamaan dan pemahaman.

Kesepian dalam pernikahan bisa dihindari ketika kita mulai memahami bahwa mencintai seseorang berarti mencintai seluruh perubahan dan kerentanannya.

Aku tahu, pada akhirnya, cinta bukan tentang meredam sepi, tetapi tentang menemukan kebahagiaan di tengah ketidaksempurnaan dan terus berjuang agar kebersamaan itu tetap terasa hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun