Ada sesuatu yang menggelitik dalam kata-katanya. Pernikahan, ternyata, tidak sekadar tentang berada di sisi seseorang, melainkan tentang meruntuhkan benteng-benteng emosional kita. Namun, di balik kenyataan ini, muncul pertanyaan yang sulit: bagaimana jika keterbukaan ini tidak terbalas?
Hari 85: Dinding-Dinding Tak Kasat Mata
Saat dinding tak kasat mata mulai terbentuk di antara dua orang, hal-hal kecil yang tak diselesaikan sering kali menjadi bom waktu dalam hubungan. Suatu kali, seorang teman bercerita bahwa rutinitas tanpa variasi membunuh hubungan mereka perlahan-lahan.
Seiring waktu, mereka semakin terjebak dalam kebiasaan yang membosankan, seperti layaknya robot yang menjalani hidup berulang-ulang. Mereka lupa bahwa cinta, seperti tanaman, membutuhkan pemeliharaan dan perhatian agar tumbuh dan tidak mati layu.
Penelitian yang diterbitkan di Journal of Marriage and Family mengungkapkan bahwa pasangan yang meluangkan waktu untuk kegiatan baru bersama memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi.
Ketika rutinitas terlalu menguasai, tidak jarang kita lupa bagaimana rasanya tertawa bersama pasangan, atau merasakan kegembiraan yang dulu pernah begitu mudah hadir (marriageandfamily.com, 02/09/2023).
Aku teringat obrolan yang menggambarkan ini dengan baik: "Di mana cinta tanpa petualangan, di situlah ia menjadi tenang, mungkin mati."
Hari 120: Jalan Memisah atau Bersama Lagi?
Terkadang, perasaan sepi dalam pernikahan datang karena kita masing-masing berubah. Seseorang pernah mengatakan kepadaku, "Kamu tidak lagi seperti yang dulu."
Saat itu, aku berpikir, apakah ini sebuah pujian atau penilaian? Perbedaan dalam perjalanan hidup dan tujuan bisa membuat pasangan perlahan menjauh, karena tidak lagi melihat masa depan yang sama.
Ketika ini terjadi, mungkin perlu adanya refleksi pribadi: apakah kita hanya berjalan di jalur yang berbeda atau sedang mencari jalan baru untuk bersama?
Dalam sebuah artikel yang menyentuh di The New Yorker, Larissa MacFarquhar membahas bagaimana banyak pasangan, khususnya yang sudah lama menikah, merasa takut akan perubahan dan lebih memilih mempertahankan status quo meski terjebak dalam kesepian.
Ia menulis, "Perubahan adalah musuh yang tersembunyi di balik layar. Tetapi mungkin, ia adalah sekutu bagi mereka yang berani menggenggamnya" (newyorker.com, 14/11/2023).