Disrupsi bukan hanya angin lalu yang bisa diabaikan. Ini adalah badai teknologi yang tak mengenal belas kasihan---melanda, menyapu bersih pekerjaan yang pernah dianggap tak tergantikan, dan membentuk tatanan baru yang asing bagi kita.
Namun, di tengah hiruk-pikuk peralihan ini, ada beberapa hal yang perlu kita tanyakan: Apakah disrupsi benar-benar hanya soal teknologi? Ataukah kita, manusia yang berkeras hidup dalam kenyamanan, yang sebenarnya mendisrupsi diri sendiri?
Bayangkan beberapa dekade ke depan. Saat pekerjaan yang dulu dijalani oleh orang-orang sekitar kita kini beralih pada algoritma, robot, atau sistem otomatis.
Apakah kita akan merespons perubahan ini dengan kemarahan atau kebingungan? Atau malah bersikap tenang karena tahu bahwa perubahan ini tak bisa dibendung?
Mari kita analisis, mengapa kita tampak tak siap menghadapi era disrupsi ini.
Siapa yang Menyambut, dan Siapa yang Berusaha Kabur?
Sejak awal abad ke-21, tanda-tanda perubahan telah hadir. Saat CD perlahan mematikan kaset, kamera digital memusnahkan film, dan internet mulai menggerus media cetak, banyak orang yang bertanya:Â "Kemana perginya mereka yang dulu bergantung pada industri ini?"
Jawabannya sederhana: mereka yang berinovasi tetap bertahan, yang lain tersapu arus. Fuji, misalnya, berubah dari perusahaan film menjadi raksasa industri kecantikan. Kodak? Nasibnya tenggelam bersama kenangan foto analog.
Namun di sini muncul permasalahan. Apakah mereka yang terkena dampak benar-benar memiliki kesempatan untuk beradaptasi? Atau disrupsi memang dirancang untuk menguntungkan segelintir elite inovator dan investor?
Terlalu sering kita menyaksikan disrupsi hanya memihak segelintir orang saja. Saat pemilik perusahaan besar menyulap dirinya menjadi penyedia layanan teknologi, pekerja manual yang digantikan teknologi terperosok tanpa jaringan sosial atau pendidikan yang memadai untuk menyesuaikan diri.
Pekerjaan yang Punah, atau Kita yang Terlalu Mencintai Kenyamanan?
Mengamati teknologi yang menggantikan posisi manusia di berbagai sektor menimbulkan sebuah ironi. Pekerjaan kasar yang dulu menyerap banyak tenaga kerja---dari petugas pengatur tiket hingga penjaga toko---perlahan hilang.
Tapi apakah kita pernah bertanya mengapa kita begitu keras menginginkan pekerjaan yang pada dasarnya membatasi perkembangan diri kita?
Disrupsi, jika dipandang dari sisi lain, justru menawarkan peluang untuk keluar dari pekerjaan monoton yang selama ini menekan potensi kita sebagai manusia.
Namun, alih-alih mempersiapkan diri, banyak dari kita justru merasa nyaman dengan rutinitas yang telah ada, bahkan menganggap pekerjaan yang membosankan sebagai zona aman.
Saat kita tak berusaha melatih keterampilan baru atau menggali potensi yang belum tergali, tidakkah sebenarnya kita sedang mendisrupsi diri kita sendiri?
Disrupsi Menyusup Hingga Rumah Kita, Membingungkan Masa Depan Anak
Salah satu kekhawatiran besar di era disrupsi ini adalah ketidakpastian masa depan pendidikan. Apa yang akan dipelajari anak-anak kita agar relevan di masa depan? Setiap tahun, teknologi semakin maju, menggantikan banyak profesi yang dulu dianggap elit.
Hari ini, menjadi akuntan mungkin masih relevan, tetapi di masa depan? Siapa yang bisa menjamin? Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: Bagaimana kita bisa mendidik anak-anak untuk masa depan yang bahkan kita sendiri tak tahu bentuknya?
Disrupsi ini menghadirkan ironi yang menyakitkan: di saat kita mendorong anak-anak untuk mengejar cita-cita yang relevan hari ini, cita-cita itu mungkin sudah punah sebelum mereka dewasa.
Pertimbangkanlah, apakah kita benar-benar ingin anak-anak kita mengejar profesi yang memiliki tanggal kedaluwarsa, atau justru harus mulai mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan beradaptasi, dan kreativitas yang mungkin akan menyelamatkan mereka dari terseret arus disrupsi?
Dari Mesin, Robot, hingga AI: Apakah Kita Akan Selalu Tersingkir?
Ketika kita memandang robot sebagai ancaman, sebenarnya kita sedang menghadapi ketakutan bahwa manusia tak lagi memiliki daya tawar.
Bayangkan, hari ini, alat-alat kecerdasan buatan akan memutuskan transaksi finansial, merancang bangunan, hingga melakukan analisis kesehatan yang rumit---semua tanpa perlu banyak campur tangan manusia.
Skenario ini menimbulkan pertanyaan: Jika disrupsi teknologi terus berkembang, adakah pekerjaan yang masih aman bagi kita?
Jawabannya, mungkin, itu adalah pekerjaan yang tak bisa ditiru oleh mesin, pekerjaan yang sangat manusiawi.
Kemampuan berempati, menginspirasi, dan menciptakan hal-hal yang melibatkan sisi emosional manusia kemungkinan besar akan terus diminati.
Karena itulah, di tengah arus disrupsi, kita perlu fokus pada pengembangan keterampilan yang membuat kita tetap relevan di masa depan---tidak lagi hanya fokus pada hard skills yang mudah digantikan teknologi.
Disrupsi dalam Perspektif Kebudayaan
Mari kita berpikir lebih dalam, bagaimana disrupsi ini mengubah bukan hanya cara kita bekerja, tetapi juga cara kita hidup dan berpikir? Budaya tradisional yang kaya akan nilai-nilai, perlahan terkikis.
Tradisi dan kebiasaan lokal, yang selama ini menjadi identitas bangsa, mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sejalan dengan perkembangan teknologi dan zaman.
Ketika media sosial memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjadi "jurnalis" atau "influencer" dadakan, kita juga sedang mengubah cara kita berinteraksi dan memaknai informasi.
Jurnalisme, dalam pengertian klasiknya, terancam menjadi profesi purba. Namun, apakah ini berarti kita juga mengesampingkan pentingnya kualitas dan kebenaran informasi?
Banyak negara mencoba mengintegrasikan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional. Jepang, misalnya, mengadopsi robot sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi tetap menjunjung tinggi tradisi mereka.
Mengapa kita tidak bisa mengikuti jejak ini? Menggunakan teknologi, namun tetap menjaga kearifan lokal dan budaya yang telah lama kita pegang.Menghadapi Disrupsi: Apakah Menyerah atau Berani Mengubah Arah?
Di sinilah kita sampai pada dilema terbesar: apakah kita akan membiarkan disrupsi menyingkirkan kita, atau justru menghadapinya dengan kesiapan yang baru?
Banyak dari kita yang merasa disrupsi ini datang tanpa ampun, mengancam stabilitas yang kita miliki. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa disrupsi ini juga bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk meredefinisi apa yang kita inginkan dalam hidup?
Bukannya tenggelam dalam keluhan, mari kita ambil langkah untuk berubah. Mulai dari melatih anak-anak kita agar lebih mandiri, menumbuhkan keterampilan adaptasi dalam diri mereka, hingga belajar memanfaatkan teknologi yang ada.
Sebab pada akhirnya, yang paling bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita menghadapi perubahan ini.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Era Disrupsi?
Disrupsi adalah sinyal bahwa kenyamanan hanyalah ilusi. Menghindarinya bukanlah solusi.
Yang harus kita lakukan adalah menyesuaikan diri, mencari cara untuk tetap relevan, dan mengingat bahwa dunia ini akan terus berubah, entah kita siap atau tidak.
Seperti pepatah yang berkata, "Kita tak bisa mengendalikan angin, tapi kita bisa mengatur layar."
Mari kita akui, tidak semua hal bisa diubah dengan teknologi, tetapi tidak ada lagi waktu untuk diam menunggu perubahan ini lewat.
Era disrupsi adalah panggilan bagi kita semua untuk menemukan kembali potensi dan membangun masa depan yang lebih adaptif. Bukankah ini saat yang tepat untuk mulai berpikir lebih kritis, lebih berani, dan lebih manusiawi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H