Tapi apakah kita pernah bertanya mengapa kita begitu keras menginginkan pekerjaan yang pada dasarnya membatasi perkembangan diri kita?
Disrupsi, jika dipandang dari sisi lain, justru menawarkan peluang untuk keluar dari pekerjaan monoton yang selama ini menekan potensi kita sebagai manusia.
Namun, alih-alih mempersiapkan diri, banyak dari kita justru merasa nyaman dengan rutinitas yang telah ada, bahkan menganggap pekerjaan yang membosankan sebagai zona aman.
Saat kita tak berusaha melatih keterampilan baru atau menggali potensi yang belum tergali, tidakkah sebenarnya kita sedang mendisrupsi diri kita sendiri?
Disrupsi Menyusup Hingga Rumah Kita, Membingungkan Masa Depan Anak
Salah satu kekhawatiran besar di era disrupsi ini adalah ketidakpastian masa depan pendidikan. Apa yang akan dipelajari anak-anak kita agar relevan di masa depan? Setiap tahun, teknologi semakin maju, menggantikan banyak profesi yang dulu dianggap elit.
Hari ini, menjadi akuntan mungkin masih relevan, tetapi di masa depan? Siapa yang bisa menjamin? Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: Bagaimana kita bisa mendidik anak-anak untuk masa depan yang bahkan kita sendiri tak tahu bentuknya?
Disrupsi ini menghadirkan ironi yang menyakitkan: di saat kita mendorong anak-anak untuk mengejar cita-cita yang relevan hari ini, cita-cita itu mungkin sudah punah sebelum mereka dewasa.
Pertimbangkanlah, apakah kita benar-benar ingin anak-anak kita mengejar profesi yang memiliki tanggal kedaluwarsa, atau justru harus mulai mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan beradaptasi, dan kreativitas yang mungkin akan menyelamatkan mereka dari terseret arus disrupsi?
Dari Mesin, Robot, hingga AI: Apakah Kita Akan Selalu Tersingkir?
Ketika kita memandang robot sebagai ancaman, sebenarnya kita sedang menghadapi ketakutan bahwa manusia tak lagi memiliki daya tawar.
Bayangkan, hari ini, alat-alat kecerdasan buatan akan memutuskan transaksi finansial, merancang bangunan, hingga melakukan analisis kesehatan yang rumit---semua tanpa perlu banyak campur tangan manusia.
Skenario ini menimbulkan pertanyaan: Jika disrupsi teknologi terus berkembang, adakah pekerjaan yang masih aman bagi kita?