Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada Hijau, Realitas Korupsi dan Politik Alokasi Lahan

25 Oktober 2024   08:08 Diperbarui: 25 Oktober 2024   20:32 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI kerusakan hutan yang bisa mengakibatkan krisis lingkungan dan bencana alam| gambar: ecowatch.com

Sebentar lagi, 545 daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak, menghadirkan lebih dari 1.500 calon kepala daerah dan wakilnya. Wajar jika masyarakat menanti janji-janji kampanye yang sering kali penuh warna dan cita-cita.

Namun, di balik hiruk-pikuk demokrasi lokal ini, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan: bagaimana nasib lingkungan hidup di tengah kemeriahan kontestasi ini?

Mari kita anggap, di tengah gegap gempita janji-janji kampanye, ada seorang calon yang berani memperjuangkan isu lingkungan---apa yang terjadi pada mereka? Adakah peluang bagi "Pilkada hijau" untuk lahir di Indonesia?

Untuk yang kurang familiar, Pilkada hijau adalah gagasan di mana para politisi lokal tidak hanya berfokus pada jalanan beraspal mulus atau proyek bangunan megah, tetapi juga mengedepankan agenda lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ini terdengar ideal, namun realitasnya jauh dari itu.

Korupsi dan Lingkaran Setan di Balik Agenda Hijau

Jika kita membahas Pilkada hijau di Indonesia, hal pertama yang harus kita selami adalah realitas pahit: korupsi.

Ya, kata yang sering terdengar namun jarang benar-benar dipahami sepenuhnya dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Korupsi dalam Pilkada tidak hanya tentang politik uang, tetapi juga keterlibatan sektor-sektor yang seolah-olah hidup dari kucuran uang negara. Salah satunya: pengusaha ekstraktif yang bergantung pada sumber daya alam.

Pilkada di Indonesia, seperti yang kita tahu, bukanlah kontes adu visi semata. Ini adalah ajang adu finansial. Di balik poster-poster besar yang menghiasi jalan-jalan, ada modal kampanye yang mencapai miliaran rupiah. Dari mana semua uang itu berasal?

Tentu saja, dari kantong-kantong para "bohir" yang tak lain adalah pelaku industri besar---terutama dari sektor pertambangan, perkebunan sawit, atau pengembang properti. Ibarat lingkaran setan, calon kepala daerah yang berhutang pada para "bohir" ini akan terus terjebak dalam kontrak tak tertulis: balas jasa dengan izin lahan dan konsesi.

Dalam proses tersebut, isu lingkungan menjadi korban pertama. Seolah-olah ada logika aneh yang berlaku: semakin besar modal yang dikeluarkan untuk kampanye, semakin besar pula konsesi yang harus dihadiahkan setelah terpilih.

Ini adalah semacam politik balas budi yang, ironisnya, masyarakat lokal sering kali tak sadar dampaknya. Hutan-hutan, yang menjadi paru-paru dunia, secara perlahan hilang, diganti oleh perkebunan monokultur yang dijalankan oleh investor besar, meninggalkan tanah yang tidak lagi subur bagi penduduk asli.

Politisasi Lingkungan: Elit atau Relevan?

Kita sering mendengar keluhan, bahwa isu lingkungan adalah isu elit yang tidak relevan bagi masyarakat pedesaan atau masyarakat kecil yang lebih sibuk memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, mari kita uji logika ini. Jika ditanya, masyarakat mungkin lebih peduli dengan akses air bersih atau perbaikan jalan daripada kampanye pengurangan emisi karbon. Mereka mungkin juga lebih memilih janji pekerjaan baru daripada imbauan untuk tidak menebang hutan.

Tapi yang sering terlupakan adalah bagaimana kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kehidupan mereka.

Saat hutan ditebang secara masif, siapa yang akan terkena banjir bandang?
Saat tanah dialihfungsikan untuk perkebunan sawit, siapa yang kehilangan mata pencahariannya?
Dan saat pencemaran sungai terjadi karena pembuangan limbah pabrik, siapa yang harus minum air tercemar itu?

Ironi terbesar adalah ketika masyarakat dipaksa memilih antara "pembangunan" dan "lingkungan hidup," padahal keduanya bisa saja beriringan. Para kandidat sering kali mengandalkan narasi pembangunan ekonomi yang instan, yang sebenarnya hanya memberi solusi sementara.

Sementara kerusakan lingkungan yang ditinggalkan akan menghantui generasi mendatang. Kita di sini berbicara tentang satu peradoks yang nyata: menebang pohon untuk membangun jalan, hanya untuk menemukan bahwa jalan tersebut hancur lebih cepat karena tanah longsor yang terjadi akibat deforestasi.

Mengapa Politisi Hijau Tidak Laku?

Sekarang mari kita bicara tentang mereka yang mencoba, dengan berani, mengusung agenda hijau dalam Pilkada. Kita lihat di negara lain, partai-partai hijau mulai mendapatkan momentum.

Di Jerman, misalnya, Partai Hijau menjadi kekuatan politik utama yang bahkan berhasil menduduki jabatan penting dalam pemerintahan koalisi. Tetapi di Indonesia, politisi hijau sering kali dianggap 'eksentrik,' atau lebih buruk lagi, 'mimpi di siang bolong.'

Kenapa ini bisa terjadi? Sederhana saja: kebanyakan politisi hijau tidak memiliki akses pada sumber daya besar yang bisa memobilisasi kampanye besar-besaran. Lebih parah lagi, masyarakat kita belum siap untuk memahami bahwa agenda hijau sebenarnya bisa menjadi jaminan bagi kesejahteraan ekonomi jangka panjang.

Kebanyakan masyarakat Indonesia melihat 'proyek infrastruktur besar' sebagai tanda kesuksesan seorang pemimpin, bukan kualitas udara yang mereka hirup atau jumlah pohon yang masih berdiri di hutan.

Calon dengan agenda hijau sering kali terjebak dalam posisi defensif, menghabiskan waktu menjelaskan bahwa mereka tidak anti-pembangunan, bahwa mereka tidak bermimpi untuk menghentikan industri. Padahal, yang mereka perjuangkan adalah model pembangunan yang lebih berkelanjutan---model yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama, tetapi tidak menghancurkan masa depan.

Ekonomi Hijau: Antara Mimpi dan Realitas

Jika kita benar-benar ingin menjadikan Pilkada hijau sebagai kenyataan, maka calon kepala daerah harus mulai berpikir di luar kotak. Ekonomi hijau bisa menjadi jawaban.

Ini bukan sekadar ide abstrak, tetapi sesuatu yang sudah mulai diterapkan di beberapa tempat. Di Bali, misalnya, konsep ekowisata mulai mendapatkan tempat sebagai sumber pendapatan yang menggabungkan pelestarian alam dengan pengembangan ekonomi lokal. Di Kalimantan, upaya serupa juga sedang berlangsung di sektor pertanian organik.

Namun, inisiatif-inisiatif ini masih berskala kecil dan sering kali tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Selain itu, resistensi datang dari pelaku industri besar yang merasa ekonomi hijau adalah ancaman bagi model bisnis mereka.

Mereka tentu saja lebih memilih model eksploitatif yang cepat memberi keuntungan---meski harus menebang ribuan hektar hutan demi perkebunan sawit atau tambang batu bara.

Penutup: Menanam Benih Masa Depan

Mewujudkan Pilkada hijau di Indonesia memang terlihat sulit, bahkan mungkin terdengar utopis. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil.

Pertama, memperkuat kerangka regulasi dan memastikan bahwa undang-undang perlindungan lingkungan tidak hanya ada di atas kertas.

Kedua, memastikan bahwa masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil, mendapatkan pemahaman bahwa isu lingkungan adalah isu yang relevan bagi kesejahteraan mereka.

Ketiga, memberikan ruang bagi politisi hijau untuk bersaing secara adil tanpa harus terkubur di bawah tumpukan uang kampanye dari sektor ekstraktif.

Seperti yang dikatakan oleh seorang aktivis lingkungan: "Masa depan adalah apa yang kita tanam hari ini." Dan, jika para calon kepala daerah tidak segera sadar bahwa agenda hijau bukanlah sekadar janji kampanye kosong, tetapi investasi bagi kelangsungan hidup kita semua, maka mungkin Pilkada yang sesungguhnya bukan tentang siapa yang terpilih, tetapi tentang apakah bumi ini masih layak untuk kita tinggali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun