Kita sering mendengar keluhan, bahwa isu lingkungan adalah isu elit yang tidak relevan bagi masyarakat pedesaan atau masyarakat kecil yang lebih sibuk memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, mari kita uji logika ini. Jika ditanya, masyarakat mungkin lebih peduli dengan akses air bersih atau perbaikan jalan daripada kampanye pengurangan emisi karbon. Mereka mungkin juga lebih memilih janji pekerjaan baru daripada imbauan untuk tidak menebang hutan.
Tapi yang sering terlupakan adalah bagaimana kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Saat hutan ditebang secara masif, siapa yang akan terkena banjir bandang?
Saat tanah dialihfungsikan untuk perkebunan sawit, siapa yang kehilangan mata pencahariannya?
Dan saat pencemaran sungai terjadi karena pembuangan limbah pabrik, siapa yang harus minum air tercemar itu?
Ironi terbesar adalah ketika masyarakat dipaksa memilih antara "pembangunan" dan "lingkungan hidup," padahal keduanya bisa saja beriringan. Para kandidat sering kali mengandalkan narasi pembangunan ekonomi yang instan, yang sebenarnya hanya memberi solusi sementara.
Sementara kerusakan lingkungan yang ditinggalkan akan menghantui generasi mendatang. Kita di sini berbicara tentang satu peradoks yang nyata: menebang pohon untuk membangun jalan, hanya untuk menemukan bahwa jalan tersebut hancur lebih cepat karena tanah longsor yang terjadi akibat deforestasi.
Mengapa Politisi Hijau Tidak Laku?
Sekarang mari kita bicara tentang mereka yang mencoba, dengan berani, mengusung agenda hijau dalam Pilkada. Kita lihat di negara lain, partai-partai hijau mulai mendapatkan momentum.
Di Jerman, misalnya, Partai Hijau menjadi kekuatan politik utama yang bahkan berhasil menduduki jabatan penting dalam pemerintahan koalisi. Tetapi di Indonesia, politisi hijau sering kali dianggap 'eksentrik,' atau lebih buruk lagi, 'mimpi di siang bolong.'
Kenapa ini bisa terjadi? Sederhana saja: kebanyakan politisi hijau tidak memiliki akses pada sumber daya besar yang bisa memobilisasi kampanye besar-besaran. Lebih parah lagi, masyarakat kita belum siap untuk memahami bahwa agenda hijau sebenarnya bisa menjadi jaminan bagi kesejahteraan ekonomi jangka panjang.
Kebanyakan masyarakat Indonesia melihat 'proyek infrastruktur besar' sebagai tanda kesuksesan seorang pemimpin, bukan kualitas udara yang mereka hirup atau jumlah pohon yang masih berdiri di hutan.
Calon dengan agenda hijau sering kali terjebak dalam posisi defensif, menghabiskan waktu menjelaskan bahwa mereka tidak anti-pembangunan, bahwa mereka tidak bermimpi untuk menghentikan industri. Padahal, yang mereka perjuangkan adalah model pembangunan yang lebih berkelanjutan---model yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama, tetapi tidak menghancurkan masa depan.