Sebentar lagi, 545 daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak, menghadirkan lebih dari 1.500 calon kepala daerah dan wakilnya. Wajar jika masyarakat menanti janji-janji kampanye yang sering kali penuh warna dan cita-cita.
Namun, di balik hiruk-pikuk demokrasi lokal ini, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan: bagaimana nasib lingkungan hidup di tengah kemeriahan kontestasi ini?
Mari kita anggap, di tengah gegap gempita janji-janji kampanye, ada seorang calon yang berani memperjuangkan isu lingkungan---apa yang terjadi pada mereka? Adakah peluang bagi "Pilkada hijau" untuk lahir di Indonesia?
Untuk yang kurang familiar, Pilkada hijau adalah gagasan di mana para politisi lokal tidak hanya berfokus pada jalanan beraspal mulus atau proyek bangunan megah, tetapi juga mengedepankan agenda lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ini terdengar ideal, namun realitasnya jauh dari itu.
Korupsi dan Lingkaran Setan di Balik Agenda Hijau
Jika kita membahas Pilkada hijau di Indonesia, hal pertama yang harus kita selami adalah realitas pahit: korupsi.
Ya, kata yang sering terdengar namun jarang benar-benar dipahami sepenuhnya dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Korupsi dalam Pilkada tidak hanya tentang politik uang, tetapi juga keterlibatan sektor-sektor yang seolah-olah hidup dari kucuran uang negara. Salah satunya: pengusaha ekstraktif yang bergantung pada sumber daya alam.
Pilkada di Indonesia, seperti yang kita tahu, bukanlah kontes adu visi semata. Ini adalah ajang adu finansial. Di balik poster-poster besar yang menghiasi jalan-jalan, ada modal kampanye yang mencapai miliaran rupiah. Dari mana semua uang itu berasal?
Tentu saja, dari kantong-kantong para "bohir" yang tak lain adalah pelaku industri besar---terutama dari sektor pertambangan, perkebunan sawit, atau pengembang properti. Ibarat lingkaran setan, calon kepala daerah yang berhutang pada para "bohir" ini akan terus terjebak dalam kontrak tak tertulis: balas jasa dengan izin lahan dan konsesi.
Dalam proses tersebut, isu lingkungan menjadi korban pertama. Seolah-olah ada logika aneh yang berlaku: semakin besar modal yang dikeluarkan untuk kampanye, semakin besar pula konsesi yang harus dihadiahkan setelah terpilih.
Ini adalah semacam politik balas budi yang, ironisnya, masyarakat lokal sering kali tak sadar dampaknya. Hutan-hutan, yang menjadi paru-paru dunia, secara perlahan hilang, diganti oleh perkebunan monokultur yang dijalankan oleh investor besar, meninggalkan tanah yang tidak lagi subur bagi penduduk asli.