Dalam keseluruhan cerita ini, ada pertanyaan yang lebih besar dan lebih mendalam: apakah Fadli Zon benar-benar seorang pecinta budaya, atau hanya simbol politik? Dalam politik, simbol bisa lebih penting dari substansi.
Koleksi 125.000 bukunya bisa saja menjadi metafora yang sempurna untuk menggambarkan seorang politisi yang memiliki begitu banyak informasi, tapi hanya sedikit yang benar-benar digunakan. Namun, kita juga tidak bisa menafikan dedikasi Fadli pada budaya.
Dari koleksi prangko hingga pameran keris, semua itu menunjukkan kecintaannya pada warisan Indonesia. Masalahnya, kecintaan saja tidak cukup. Sebagai menteri, Fadli Zon perlu lebih dari sekadar kolektor.
Ia perlu menjadi pencipta kebijakan, pembawa perubahan yang nyata, dan penggerak masyarakat menuju kebudayaan yang lebih inklusif dan hidup.
Kesimpulan: Harapan atau Hanya Tumpukan Buku?
Ketika kita melihat perjalanan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan, harapan besar terletak pada kemampuannya untuk menjadikan budaya bukan hanya sebagai koleksi artefak, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ia memiliki potensi, visi, dan---tentu saja---koleksi buku yang bisa membantu membimbingnya. Tapi apakah ia bisa melangkah lebih jauh dari sekadar kolektor menjadi penggerak kebudayaan?
Jika Fadli Zon berhasil, ia bisa menjadi salah satu Menteri Kebudayaan yang paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Jika gagal?
Setidaknya, ia masih punya 125.000 buku yang bisa ia baca di waktu luangnya. Toh, kebudayaan selalu ada dalam buku---tergantung apakah kita mau membacanya atau hanya menumpuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H