Sebagai menteri, Fadli Zon berencana menjadikan Indonesia ibu kota budaya dunia. Gagasan ini terdengar seperti salah satu cita-cita nasionalis yang agung, sebanding dengan gagasan mendirikan Indonesia Raya di luar angkasa.
Tetapi apa artinya menjadi ibu kota budaya dunia?
Apakah kita akan melihat lebih banyak festival kebudayaan di pusat kota?
Atau adakah kita akan mendapat diskon untuk tiket ke museum yang biasanya hanya ramai pada hari libur?
Klaim seperti ini mengundang tawa ringan, tapi bukan berarti tidak serius. Indonesia memang memiliki kekayaan budaya yang tak tertandingi.
Namun, kita harus bertanya: bagaimana kebudayaan itu disajikan?
Apakah cukup dengan parade budaya tahunan yang difoto oleh turis asing di Candi Borobudur?
Atau lebih dari itu---sebuah integrasi budaya dalam kehidupan sehari-hari kita?
Menjadi ibu kota budaya dunia mungkin lebih dari sekadar membawa tari saman ke panggung global. Butuh fondasi budaya yang kuat, infrastruktur yang mendukung, dan yang lebih penting, strategi jangka panjang yang konsisten.
Infrastruktur kebudayaan di Indonesia saat ini masih menghadapi masalah. Museum-museum kita, misalnya, sering kali lebih sepi dari kafe internet, dan perpustakaan umum masih bersaing ketat dengan tempat nongkrong.
Untuk menjadikan Indonesia ibu kota budaya, mungkin kita perlu lebih dari sekadar menteri yang koleksi bukunya mengalahkan kapasitas gudang Perpustakaan Nasional.
Pendidikan Budaya: Kurikulum Baru atau Prangko?
Salah satu janji Fadli Zon adalah memperkuat pendidikan budaya di kalangan anak muda. Ini adalah misi yang mulia, terutama mengingat anak-anak kita mungkin lebih akrab dengan karakter anime daripada tokoh pahlawan nasional. Tapi, mari jujur. Apakah pendidikan budaya akan diterima dengan baik jika hanya sebatas teori dalam ruang kelas?
Di sini letak tantangan terbesar Fadli Zon. Sebagai penggemar filateli---pengoleksi prangko---ia mungkin ingin menambahkan mata pelajaran tentang sejarah komunikasi analog. Tapi, apakah generasi milenial dan Gen Z, yang hidup dalam dunia swipe dan click, benar-benar peduli?
Jika pendidikan budaya tidak diubah agar relevan dengan era digital, kita bisa kehilangan kesempatan besar untuk memperkenalkan warisan kita pada generasi berikutnya. Tentu saja, ada peluang besar di sini. Jika Fadli Zon serius tentang pendidikan budaya, ia bisa menggabungkan teknologi modern dengan tradisi kuno.
Bagaimana jika prangko koleksinya diubah menjadi NFT, atau wayang kulit ditransformasikan menjadi karakter animasi untuk web series? Jika itu berhasil, kita mungkin akan menyaksikan revolusi budaya, di mana kebudayaan tidak hanya dikaji, tapi dihidupi.