Â
Ketika Fadli Zon diangkat sebagai Menteri Kebudayaan Prabowo-Gibran, saya, seorang mantan pedagang buku, merasa sedikit terharu.Â
Bukan terharu ala sinetron di mana air mata mengalir deras di pipi, tapi lebih ke terharu yang pelan, seperti embun pagi yang ragu-ragu jatuh ke dedaunan.
Mengapa saya terharu? Karena kita punya menteri yang, katanya, kolektor 125.000 buku. Bagi mantan bakul buku seperti saya, itu setara dengan koleksi buku impian sepanjang hidup. Tapi, di balik rasa terharu ini, ada secuil kebingungan yang menggelitik: apakah Fadli Zon benar-benar membaca semua bukunya?
Pertanyaan itu mungkin tidak penting, tapi tak bisa diabaikan. Kita semua tahu bahwa ada perbedaan antara mengoleksi dan membaca. Mengoleksi buku adalah tindakan menumpuk, semacam olimpiade pribadi untuk menunjukkan seberapa banyak benda persegi panjang berisi kertas yang bisa dikumpulkan.
Membaca, di sisi lain, adalah sebuah perjalanan batin yang mendalam, di mana kita tak hanya menghimpun kata, tapi menyerap esensi.Tapi, di sini saya harus jujur. Perkara buku itu dibaca atau tidak, biarlah itu menjadi urusan pribadinya dan Tuhan Yang Maha Esa. Tugas saya cuma terharu. Oh.
125.000 Buku: Pameran Pengetahuan atau Penghiburan?
Mari kita mulai dengan angka 125.000 itu. Jika Fadli Zon mulai membaca sejak bayi---katakanlah umur satu tahun---dan membaca satu buku setiap hari tanpa henti hingga usia 50 tahun, dia akan membaca sekitar 18.250 buku.
Angka ini masih jauh dari 125.000. Jadi, apakah ia seorang book reader atau book hoarder?
Jika kita lebih filosofis, koleksi Fadli ini mungkin adalah perwujudan dari aspirasi manusia yang tak terbatas, mencoba untuk memahami dunia dengan mengumpulkan lebih banyak dari yang bisa ia cerna. Seperti kita yang menonton daftar film Netflix tanpa pernah benar-benar menontonnya semua.
Namun, apalah arti angka tanpa konteks?Â
Fadli Zon tidak harus membaca semua bukunya untuk mendapatkan gelar pencinta budaya. Mungkin baginya, setiap buku adalah representasi dari satu gagasan besar, seperti seorang seniman yang mengumpulkan cat tanpa harus melukis semua kanvas yang tersedia.
Buku-buku itu mungkin bukan untuk dibaca, tetapi untuk dikagumi---sebagai simbol dari suatu visi besar yang menanti untuk diuraikan. Atau mungkin ia hanya suka bau kertas tua. Tidak ada yang salah dengan itu.
Indonesia, Ibu Kota Budaya Dunia?
Sebagai menteri, Fadli Zon berencana menjadikan Indonesia ibu kota budaya dunia. Gagasan ini terdengar seperti salah satu cita-cita nasionalis yang agung, sebanding dengan gagasan mendirikan Indonesia Raya di luar angkasa.
Tetapi apa artinya menjadi ibu kota budaya dunia?
Apakah kita akan melihat lebih banyak festival kebudayaan di pusat kota?
Atau adakah kita akan mendapat diskon untuk tiket ke museum yang biasanya hanya ramai pada hari libur?
Klaim seperti ini mengundang tawa ringan, tapi bukan berarti tidak serius. Indonesia memang memiliki kekayaan budaya yang tak tertandingi.
Namun, kita harus bertanya: bagaimana kebudayaan itu disajikan?
Apakah cukup dengan parade budaya tahunan yang difoto oleh turis asing di Candi Borobudur?
Atau lebih dari itu---sebuah integrasi budaya dalam kehidupan sehari-hari kita?
Menjadi ibu kota budaya dunia mungkin lebih dari sekadar membawa tari saman ke panggung global. Butuh fondasi budaya yang kuat, infrastruktur yang mendukung, dan yang lebih penting, strategi jangka panjang yang konsisten.
Infrastruktur kebudayaan di Indonesia saat ini masih menghadapi masalah. Museum-museum kita, misalnya, sering kali lebih sepi dari kafe internet, dan perpustakaan umum masih bersaing ketat dengan tempat nongkrong.
Untuk menjadikan Indonesia ibu kota budaya, mungkin kita perlu lebih dari sekadar menteri yang koleksi bukunya mengalahkan kapasitas gudang Perpustakaan Nasional.
Pendidikan Budaya: Kurikulum Baru atau Prangko?
Salah satu janji Fadli Zon adalah memperkuat pendidikan budaya di kalangan anak muda. Ini adalah misi yang mulia, terutama mengingat anak-anak kita mungkin lebih akrab dengan karakter anime daripada tokoh pahlawan nasional. Tapi, mari jujur. Apakah pendidikan budaya akan diterima dengan baik jika hanya sebatas teori dalam ruang kelas?
Di sini letak tantangan terbesar Fadli Zon. Sebagai penggemar filateli---pengoleksi prangko---ia mungkin ingin menambahkan mata pelajaran tentang sejarah komunikasi analog. Tapi, apakah generasi milenial dan Gen Z, yang hidup dalam dunia swipe dan click, benar-benar peduli?
Jika pendidikan budaya tidak diubah agar relevan dengan era digital, kita bisa kehilangan kesempatan besar untuk memperkenalkan warisan kita pada generasi berikutnya. Tentu saja, ada peluang besar di sini. Jika Fadli Zon serius tentang pendidikan budaya, ia bisa menggabungkan teknologi modern dengan tradisi kuno.
Bagaimana jika prangko koleksinya diubah menjadi NFT, atau wayang kulit ditransformasikan menjadi karakter animasi untuk web series? Jika itu berhasil, kita mungkin akan menyaksikan revolusi budaya, di mana kebudayaan tidak hanya dikaji, tapi dihidupi.
Fadli Zon: Pecinta Budaya atau Simbol Politik?
Dalam keseluruhan cerita ini, ada pertanyaan yang lebih besar dan lebih mendalam: apakah Fadli Zon benar-benar seorang pecinta budaya, atau hanya simbol politik? Dalam politik, simbol bisa lebih penting dari substansi.
Koleksi 125.000 bukunya bisa saja menjadi metafora yang sempurna untuk menggambarkan seorang politisi yang memiliki begitu banyak informasi, tapi hanya sedikit yang benar-benar digunakan. Namun, kita juga tidak bisa menafikan dedikasi Fadli pada budaya.
Dari koleksi prangko hingga pameran keris, semua itu menunjukkan kecintaannya pada warisan Indonesia. Masalahnya, kecintaan saja tidak cukup. Sebagai menteri, Fadli Zon perlu lebih dari sekadar kolektor.
Ia perlu menjadi pencipta kebijakan, pembawa perubahan yang nyata, dan penggerak masyarakat menuju kebudayaan yang lebih inklusif dan hidup.
Kesimpulan: Harapan atau Hanya Tumpukan Buku?
Ketika kita melihat perjalanan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan, harapan besar terletak pada kemampuannya untuk menjadikan budaya bukan hanya sebagai koleksi artefak, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ia memiliki potensi, visi, dan---tentu saja---koleksi buku yang bisa membantu membimbingnya. Tapi apakah ia bisa melangkah lebih jauh dari sekadar kolektor menjadi penggerak kebudayaan?
Jika Fadli Zon berhasil, ia bisa menjadi salah satu Menteri Kebudayaan yang paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Jika gagal?
Setidaknya, ia masih punya 125.000 buku yang bisa ia baca di waktu luangnya. Toh, kebudayaan selalu ada dalam buku---tergantung apakah kita mau membacanya atau hanya menumpuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H