Anak-anak yang kekurangan gizi, menurut penelitian World Health Organization (WHO), menunjukkan penurunan kemampuan dalam konsentrasi dan memori, yang secara langsung mempengaruhi performa mereka dalam belajar. Namun, memperbaiki gizi saja tidak cukup jika kita tidak menangani stunting literasi dengan upaya yang sama.
Literasi dan Gizi, Dua Sisi Mata Uang yang Tidak Terpisahkan
Gizi dan literasi berjalan seiring, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Anak yang kurang gizi akan sulit fokus belajar, sedangkan anak yang tidak terpapar literasi yang baik sejak dini juga akan sulit untuk berkembang secara kognitif. Keduanya adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi jika kita ingin melihat bangsa ini maju.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun pemerintah berfokus pada perbaikan gizi melalui program makan siang gratis, belum ada langkah konkrit yang secara sistematis mendorong pengentasan "stunting literasi". Indonesia membutuhkan program literasi yang terstruktur dan masif, serupa dengan upaya yang dilakukan dalam program gizi.
Jika literasi terus dianggap sebagai sekadar "hobi" atau kegiatan tambahan, kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan yang tidak pernah berakhir. Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis yang memadai akan tumbuh menjadi orang tua yang juga tidak mampu mendidik anak-anaknya untuk memahami pentingnya literasi. Siklus ini akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai "stunting literasi" dalam skala yang lebih besar.
Daur Ulang Kebodohan, Stunting Literasi sebagai Lingkaran Setan
Salah satu bahaya terbesar dari stunting literasi adalah dampaknya yang berkelanjutan. Anak-anak yang tidak dibiasakan membaca sejak dini mungkin hanya bisa membaca teks tanpa memahami isinya.
Mereka bisa membaca huruf, tetapi tidak memahami makna di balik kata-kata yang mereka baca. Lebih buruk lagi, ketika mereka tumbuh dewasa dan menjadi orang tua, mereka tidak akan mampu menularkan kebiasaan membaca kepada anak-anak mereka. Inilah lingkaran setan stunting literasi yang tak terputus.
Seperti yang dikatakan oleh berbagai ahli pendidikan, literasi memiliki beberapa tahapan yang kompleks. Tidak cukup hanya belajar mengeja huruf dan kata, anak-anak juga harus mampu memahami, menganalisis, dan mengkritisi informasi yang mereka baca. Jika tahap ini tidak dilalui dengan baik, mereka hanya akan menjadi pembaca pasif yang tidak mampu menggunakan informasi untuk memecahkan masalah atau berinovasi.
Stunting literasi bukan hanya masalah pendidikan, melainkan juga masalah sosial yang serius. Tingkat literasi yang rendah menghambat partisipasi penuh seseorang dalam masyarakat. Orang dengan literasi yang terbatas mungkin tidak dapat memahami instruksi medis yang mereka terima, tidak mampu mengakses informasi penting terkait hak-hak mereka, atau bahkan gagal memahami kontrak kerja yang mereka tanda tangani.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?
Pemerintahan yang baru harus mengambil langkah lebih agresif dalam mengatasi stunting literasi. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menjadikan literasi sebagai kebutuhan pokok, seperti halnya makan, minum, dan buang air.
Program-program literasi harus diterapkan sejak usia dini, dengan fokus tidak hanya pada kemampuan teknis membaca, tetapi juga pada pemahaman dan analisis teks. Kurikulum yang ada harus disesuaikan dengan metode pembelajaran yang terbukti secara ilmiah, dan guru harus dilatih ulang untuk menerapkan metode tersebut.