Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gerbong Literasi

18 Oktober 2024   10:29 Diperbarui: 18 Oktober 2024   13:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI membaca dan berdiskusi dalam gerbong kereta | sumber: andc.tv

Setiap pagi, kereta yang mengantarkan saya menuju tempat kerja selalu bergerak dengan ritme yang sama. Dingin logam di bangkunya, denting halus roda-roda besi menggilas rel, dan riuh rendah suara notifikasi ponsel serta percakapan setengah sumbang di antara penumpang.

Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang, jika dilihat sekilas, mungkin tak banyak orang menyadarinya. Tapi bagi saya, hal itu menjadi titik awal dari sebuah perubahan yang menyentuh, sebuah cerita yang takkan pernah terlupakan.

Saat kereta meluncur melewati stasiun pertama, saya menyadari keheningan yang tak biasa. Tak ada suara notifikasi yang memecah kesunyian, tak ada obrolan acak yang biasanya bergema di gerbong. Semua orang tenggelam dalam dunianya masing-masing.

Namun, anehnya, kali ini dunia mereka bukanlah layar ponsel atau tablet---melainkan halaman-halaman buku yang tebal dan nyata, terbungkus sampul lusuh atau baru. Ya, mereka membaca buku.

Saya menyandarkan kepala ke jendela, memperhatikan pemandangan yang tak lazim ini. Perlahan, mata saya tertuju pada penumpang di sebelah saya.

Seorang pria, dengan wajah tenang dan serius, sedang membuka lembaran tebal dari buku berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Ada kedamaian di sana---bukan hanya pada wajah pria itu, tapi juga dalam keheningan yang menyelimuti seluruh gerbong.

***

Sejujurnya, saya tak ingat kapan terakhir kali saya memegang sebuah buku fisik.

Sejak teknologi merajai kehidupan sehari-hari, membaca bagi saya hanyalah sekadar menyapu konten di layar ponsel, artikel pendek di media sosial, atau mungkin sekilas berita yang melintas di notifikasi.

Entah kapan saya berhenti mencintai buku, namun pagi itu, kenangan akan masa-masa dulu mulai menghampiri.

Dulu, saat saya masih kecil, buku adalah teman terbaik. Saya selalu membawa satu buku kemanapun saya pergi, entah itu petualangan Enid Blyton atau kisah klasik Mark Twain.

Malam-malam saya diisi dengan cerita-cerita yang membawa saya ke dunia yang berbeda, jauh dari kenyataan sehari-hari yang kerap membosankan. Namun kini, dunia saya diisi dengan deretan notifikasi tanpa henti. Dan tiba-tiba, saya rindu pada buku.

Di seberang saya, seorang ibu muda sedang membacakan cerita kepada anaknya. Buku bergambar warna-warni tampak mencuri perhatian bocah kecil itu, yang matanya berbinar-binar mengikuti setiap kata yang keluar dari bibir ibunya.

Saya tersenyum kecil, merasakan kehangatan di dada. Dunia mungkin semakin digital, semakin cepat dan canggih, tapi di sudut kecil gerbong ini, masih ada keajaiban yang hanya bisa ditemukan dalam halaman-halaman buku.

***

Pagi-pagi berikutnya, kebiasaan baru mulai saya perhatikan. Bukan lagi sekadar satu atau dua orang yang memegang buku, tapi beberapa penumpang lainnya pun terlibat dalam dunia mereka masing-masing, tenggelam dalam cerita-cerita yang tertulis di atas kertas. Gerbong kereta ini perlahan berubah menjadi perpustakaan berjalan.

Ada yang berbeda dalam tatapan orang-orang yang membaca ini. Mereka seolah lepas dari kesibukan dunia luar, memutuskan untuk memilih sejenak waktu bagi diri mereka sendiri.

Di antara deru mesin kereta dan hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur, mereka menemukan kedamaian dalam cerita-cerita yang dibawa oleh buku.

Saya bisa merasakan perubahan kecil ini, semacam gerakan yang terjadi tanpa ada yang mengarahkan. Seperti gelombang tenang yang diam-diam menyapu tepian, mengubah garis pantai sedikit demi sedikit.

Kebiasaan ini ternyata bukan tanpa sebab. Ada kampanye kecil dari PT KAI yang saya ingat pernah melihatnya beberapa bulan lalu---kampanye sederhana yang mengajak penumpang untuk membaca selama perjalanan dan, jika memungkinkan, meninggalkan buku mereka di kereta untuk dibaca oleh penumpang lain.

Sebuah gerakan literasi yang perlahan merasuk dalam rutinitas harian, tanpa disadari tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.

Saya teringat statistik dari UNESCO yang pernah saya baca. Minat baca masyarakat Indonesia konon hanya sekitar 0,001%. Satu dari seribu orang yang benar-benar membaca. Namun, pagi itu, saya meragukan angka tersebut.

Di gerbong ini, tampaknya lebih dari satu dari seribu yang membaca. Saya mulai berpikir, mungkinkah ini menjadi cikal bakal dari sesuatu yang lebih besar? Sebuah revolusi literasi yang tak diawali oleh kebijakan besar, tapi oleh tindakan kecil dari setiap individu?

***

Suara halus dari pria paruh baya yang masuk ke gerbong menarik perhatian saya. Ia duduk di pojokan, membuka bukunya, dan mulai membaca. Pemandangan ini semakin memperkuat keyakinan saya bahwa sesuatu sedang terjadi.

Sebuah keajaiban kecil, mungkin. Membaca buku di tempat umum, di tengah hiruk-pikuk dunia modern ini, adalah tindakan yang terasa hampir seperti ritual.

Membalik halaman kertas, mencium aroma khas buku yang telah terbaca oleh banyak tangan, tenggelam dalam dunia yang dibangun oleh kata-kata---ini semua memberikan pengalaman yang tak bisa digantikan oleh teknologi.

Saat itu, saya merogoh tas, mengeluarkan ponsel dan seperti biasa mulai men-scroll. Tapi entah kenapa, kali ini terasa hampa. Layar ponsel tak lagi memikat seperti biasanya.

Berita-berita acak, meme lucu, video pendek---semuanya terasa dangkal dan tak bernyawa. Saya mengingat kembali wajah ibu yang membacakan dongeng kepada anaknya tadi. Ada kehangatan di sana yang tak bisa diberikan oleh layar.

Saya meletakkan ponsel saya kembali, menatap keluar jendela, melihat kota Jakarta yang mulai bangun. Namun di dalam gerbong ini, waktu seolah melambat.

Orang-orang mulai saling berbagi buku, mendiskusikan apa yang mereka baca, bahkan membentuk komunitas kecil di tengah perjalanan. Apa yang tadinya hanya sebuah kampanye sederhana, kini berkembang menjadi kebiasaan yang menyebar dengan cepat.

Ada tagar #BacaDiKereta yang mulai bermunculan di media sosial. Orang-orang berbagi buku apa yang mereka baca, pengalaman yang mereka rasakan saat membaca di kereta, dan bagaimana kebiasaan ini mengubah cara pandang mereka. Ini bukan sekadar tentang membaca, tapi tentang membangun budaya literasi yang lebih dalam.

Kereta ini, gerbong yang pernah terasa dingin dan asing, kini menjadi ruang di mana pikiran-pikiran terbuka, di mana cerita-cerita bertukar tangan.

Dan saya, yang dulunya hanya penumpang biasa dengan ponsel di tangan, kini menjadi bagian dari gerakan ini. Saya mulai membawa buku sendiri, membacanya di antara stasiun, dan kadang-kadang meninggalkannya di bangku untuk ditemukan oleh orang lain.

***

Ada keajaiban dalam setiap kata yang tertulis di halaman-halaman itu. Di tengah dunia yang semakin cepat, ada sesuatu yang abadi dalam membaca buku fisik. Ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap kebiasaan konsumsi konten yang serba cepat dan dangkal.

Dan dalam keheningan gerbong kereta ini, saya melihat harapan---bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari langkah kecil. Mungkin, perubahan yang terjadi di gerbong ini akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah cara kita memandang dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun