Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Artis dan Politisi Membayangi Kelas Menengah Terdidik dalam Pencapaian Akademik

17 Oktober 2024   15:34 Diperbarui: 17 Oktober 2024   16:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa standar akademik di kampus-kampus elit mungkin mulai berkompromi demi mendapatkan perhatian atau dukungan finansial dari kalangan selebriti dan politisi.

Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa artis dan politisi sering kali memiliki akses ke sumber daya yang tidak dimiliki oleh akademisi biasa. Dari segi waktu, mereka bisa mempekerjakan asisten riset atau penulis bayangan yang membantu menyelesaikan tugas-tugas akademik.

Dari segi ekonomi, mereka mampu membiayai studi tanpa harus khawatir tentang beasiswa atau pendapatan selama masa studi, sesuatu yang sering menjadi beban berat bagi mahasiswa doktoral biasa.

"Ini bukan soal kecemburuan sosial," jelas Dr. Linda Kartika, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia. "Namun, ketika mereka yang memiliki modal sosial dan ekonomi besar dapat mengakses pendidikan tinggi dengan cara yang lebih mudah, itu menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam sistem pendidikan kita.

Apakah universitas masih memprioritaskan meritokrasi, ataukah kita mulai melihat adanya bias terhadap mereka yang terkenal?"

Kehidupan sebagai Prekariat Akademik

Di sisi lain, kelas menengah terdidik yang tidak memiliki akses ke kekayaan atau popularitas hidup dalam situasi yang semakin sulit.

Istilah "prekariat" yang awalnya digunakan untuk menggambarkan pekerja yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, kini mulai diterapkan pada kalangan akademisi yang meskipun memiliki pendidikan tinggi, hidup dengan penghasilan yang tidak jauh dari standar minimum.

Bagi mereka yang bekerja di sektor akademik atau penelitian, hidup sering kali diwarnai dengan kontrak kerja yang tidak tetap, gaji yang stagnan, serta beban kerja yang besar.

Dalam situasi ini, gelar doktor, meskipun penting secara simbolis, tidak lagi memberikan jaminan kehidupan yang layak. Ini membuat banyak dari mereka merasa semakin teralienasi dari sistem yang seharusnya memberi penghargaan atas intelektualitas dan kerja keras mereka.

"Prekariat akademik adalah kenyataan di Indonesia saat ini," tegas Kartika. "Banyak orang yang meraih gelar S3 hanya untuk menemukan bahwa peluang kerja dan penghasilan mereka tidak meningkat secara signifikan.

Sementara itu, mereka yang berasal dari latar belakang non-akademik bisa meraih gelar yang sama dengan lebih mudah dan mendapatkan penghargaan sosial yang lebih besar."

Mencari Solusi: Reformasi dalam Dunia Akademik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun