Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Artis dan Politisi Membayangi Kelas Menengah Terdidik dalam Pencapaian Akademik

17 Oktober 2024   15:34 Diperbarui: 17 Oktober 2024   16:17 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | sumber: outputeducation.com 

Di tengah percakapan yang semakin ramai mengenai ketimpangan sosial di Indonesia, satu isu yang kerap kali terabaikan namun tetap menggema di kalangan tertentu adalah hilangnya keistimewaan kelas menengah terdidik dalam pencapaian akademik.

Dunia pendidikan, yang selama berdekade-dekade menjadi salah satu pilar kebanggaan bagi kelompok ini, kini mulai tergeser oleh kehadiran artis dan politisi yang secara tiba-tiba masuk ke dalam ruang yang dulu dianggap eksklusif bagi mereka yang benar-benar berjuang melalui jalur akademik.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini semakin mencolok. Publik tidak lagi asing dengan kabar artis atau politisi yang meraih gelar doktor dari kampus-kampus ternama.

Namun, ini bukan sekadar pencapaian individu, melainkan gejala dari pergeseran nilai di masyarakat---pergeseran yang menyisakan frustrasi di kalangan akademisi dan pekerja kelas menengah yang merasa telah bekerja keras untuk mengukuhkan identitas sosial mereka melalui pendidikan tinggi.

Dilema Kelas Menengah: Prestise yang Kian Terkikis

Bagi kelas menengah terdidik di Indonesia, pendidikan bukan hanya alat untuk meningkatkan karier atau mendapatkan gaji lebih tinggi. Gelar, khususnya gelar S3, sering kali menjadi simbol dari status sosial dan intelektual yang diperjuangkan selama bertahun-tahun.

Di tengah kehidupan ekonomi yang kian sulit, di mana banyak dari mereka hidup dengan gaji yang sekadar cukup, gelar doktor menjadi kebanggaan terakhir yang dapat ditunjukkan ke publik sebagai bukti pencapaian diri.

Namun, kehadiran para selebriti dan politisi di jalur akademik, terutama dalam meraih gelar doktor, seakan mengancam keistimewaan ini. Menariknya, beberapa dari mereka bahkan meraih gelar dari universitas terbaik di Indonesia, tempat di mana seleksi masuk dan standar akademik dikenal ketat.

Fenomena ini, meskipun mengundang decak kagum dari penggemar mereka, memicu kekecewaan di kalangan akademisi yang merasa bahwa proses meraih gelar doktor kini tampak lebih mudah bagi segelintir orang dengan koneksi dan modal besar.

Salah satu pengamat sosial terkemuka, Dr. Rizal Dharmawan, mencatat bahwa "pencapaian akademik di Indonesia telah lama menjadi salah satu cara bagi kelas menengah untuk mengukuhkan posisi sosial mereka. Namun, ketika artis dan politisi memasuki ranah ini dengan jalur yang lebih cepat atau mudah, ada rasa kehilangan di antara mereka yang telah berjuang bertahun-tahun demi gelar tersebut."

 "S3 Kilat" dan Kekhawatiran Integritas Akademik

Salah satu isu utama yang muncul dalam diskusi ini adalah apa yang sering disebut sebagai "S3 kilat"---fenomena di mana beberapa tokoh publik berhasil meraih gelar doktor dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan rata-rata mahasiswa doktoral.

Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa standar akademik di kampus-kampus elit mungkin mulai berkompromi demi mendapatkan perhatian atau dukungan finansial dari kalangan selebriti dan politisi.

Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa artis dan politisi sering kali memiliki akses ke sumber daya yang tidak dimiliki oleh akademisi biasa. Dari segi waktu, mereka bisa mempekerjakan asisten riset atau penulis bayangan yang membantu menyelesaikan tugas-tugas akademik.

Dari segi ekonomi, mereka mampu membiayai studi tanpa harus khawatir tentang beasiswa atau pendapatan selama masa studi, sesuatu yang sering menjadi beban berat bagi mahasiswa doktoral biasa.

"Ini bukan soal kecemburuan sosial," jelas Dr. Linda Kartika, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia. "Namun, ketika mereka yang memiliki modal sosial dan ekonomi besar dapat mengakses pendidikan tinggi dengan cara yang lebih mudah, itu menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam sistem pendidikan kita.

Apakah universitas masih memprioritaskan meritokrasi, ataukah kita mulai melihat adanya bias terhadap mereka yang terkenal?"

Kehidupan sebagai Prekariat Akademik

Di sisi lain, kelas menengah terdidik yang tidak memiliki akses ke kekayaan atau popularitas hidup dalam situasi yang semakin sulit.

Istilah "prekariat" yang awalnya digunakan untuk menggambarkan pekerja yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, kini mulai diterapkan pada kalangan akademisi yang meskipun memiliki pendidikan tinggi, hidup dengan penghasilan yang tidak jauh dari standar minimum.

Bagi mereka yang bekerja di sektor akademik atau penelitian, hidup sering kali diwarnai dengan kontrak kerja yang tidak tetap, gaji yang stagnan, serta beban kerja yang besar.

Dalam situasi ini, gelar doktor, meskipun penting secara simbolis, tidak lagi memberikan jaminan kehidupan yang layak. Ini membuat banyak dari mereka merasa semakin teralienasi dari sistem yang seharusnya memberi penghargaan atas intelektualitas dan kerja keras mereka.

"Prekariat akademik adalah kenyataan di Indonesia saat ini," tegas Kartika. "Banyak orang yang meraih gelar S3 hanya untuk menemukan bahwa peluang kerja dan penghasilan mereka tidak meningkat secara signifikan.

Sementara itu, mereka yang berasal dari latar belakang non-akademik bisa meraih gelar yang sama dengan lebih mudah dan mendapatkan penghargaan sosial yang lebih besar."

Mencari Solusi: Reformasi dalam Dunia Akademik

Lantas, bagaimana kita dapat mengatasi masalah ini? Salah satu solusinya adalah memperketat regulasi terkait proses akademik, khususnya dalam program doktor.

Kampus-kampus elit harus tetap menjaga standar yang tinggi dalam menerima dan meluluskan mahasiswa doktoral, terlepas dari latar belakang ekonomi atau status sosial mereka.

Gelar doktor seharusnya tetap menjadi pencapaian yang memerlukan dedikasi akademik, penelitian yang mendalam, dan kontribusi yang signifikan bagi ilmu pengetahuan.

Selain itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk mendukung prekariat akademik, termasuk dengan menyediakan lebih banyak peluang pendanaan penelitian, memastikan adanya jaminan pekerjaan bagi mereka yang berprestasi di bidang akademik, serta mendorong kerja sama antara universitas dan sektor industri untuk menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian lulusan S3.

Di sisi lain, transparansi dalam proses pemberian gelar doktor juga sangat penting. Kampus-kampus harus lebih terbuka dalam mengomunikasikan kriteria dan standar yang mereka terapkan dalam program doktoral.

Ini akan membantu mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas pendidikan tinggi di Indonesia dan memastikan bahwa gelar akademik tetap dihargai sebagai simbol intelektual, bukan sekadar alat politik atau sosial.

Kesimpulan: Kembali ke Akar Meritokrasi

Pada akhirnya, tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah terdidik di Indonesia mencerminkan pergeseran lebih luas dalam nilai-nilai sosial kita.

Ketika popularitas dan kekayaan mulai membayangi pencapaian intelektual, kita harus bertanya apakah kita masih menghargai meritokrasi sebagai prinsip dasar dalam pendidikan dan masyarakat.

Mungkin bukan salah artis atau politisi jika mereka ingin meningkatkan diri secara akademik, namun sistem pendidikan harus tetap adil dan mempertahankan integritasnya.

Bagi kelas menengah terdidik yang terus memperjuangkan hak mereka atas pendidikan yang adil dan kesempatan yang setara, perjuangan ini adalah panggilan untuk mempertahankan eksklusivitas ruang akademik sebagai tempat di mana usaha dan kerja keras tetap dihargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun