Di sebuah sudut yang mungkin tak begitu mencolok di Kota Solo, sebuah ruang sederhana di Jalan Siwalan No. 1 Kerten menjadi saksi bisu perubahan sosial yang tak banyak terlihat di kota-kota besar.
Tidak ada papan nama mewah, tidak ada pengumuman besar, namun di balik pintu yang terbuka setiap Sabtu pagi, terjadilah sesuatu yang luar biasa.
Di ruang inilah, barang-barang bekas yang semula dipandang sebelah mata mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali, ditukar dan disalurkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya. Ruang itu bernama Joli Jolan, diambil dari istilah bahasa Jawa ijol-ijolan yang berarti tukar-menukar.
Pada suatu Sabtu pagi, saya berkunjung ke galeri Joli Jolan untuk merasakan sendiri bagaimana ruang solidaritas ini bekerja. Dari luar, terdengar suara canda tawa dan perbincangan.
Warga dengan berbagai latar belakang, dari ibu rumah tangga hingga mahasiswa, sibuk memilih barang-barang yang mereka perlukan.
Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan berbagai macam barang: pakaian, peralatan rumah tangga, buku-buku, bahkan perhiasan kecil dan mainan anak-anak. Semuanya gratis, dan yang dibutuhkan hanya satu: kesadaran untuk memberi sesuai kemampuan dan mengambil sesuai kebutuhan.
Di antara mereka, Septina Setyaningrum, salah satu inisiator Joli Jolan, tampak sedang berbincang dengan seorang ibu yang membawa beberapa baju anak-anak yang sudah tidak dipakai lagi.
"Baju-baju ini sudah kekecilan untuk anak saya, tapi siapa tahu ada yang masih membutuhkannya," ujar ibu tersebut sambil tersenyum.
Septina tersenyum kembali, dan saya bisa merasakan kehangatan dalam percakapan sederhana itu. Mungkin di tempat lain, barang-barang ini akan berakhir di tumpukan sampah.
Tapi di Joli Jolan, mereka memiliki kesempatan kedua untuk berguna. "Ambil sesuai kebutuhanmu, sumbangkan sesuai kemampuanmu,"Â begitu slogan komunitas ini berbunyi.
Di tengah dunia yang semakin terobsesi dengan kepemilikan dan konsumsi, gerakan seperti Joli Jolan tampak seperti oasis. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Global Footprint Network, dunia kini berada dalam kondisi overshoot, di mana kita menggunakan lebih banyak sumber daya dari yang mampu dipulihkan bumi setiap tahunnya.
Joli Jolan menawarkan alternatif, sebuah langkah kecil namun berarti, untuk keluar dari lingkaran konsumerisme yang tak berujung. Alih-alih membeli barang baru, warga Solo---dan siapa pun yang datang ke sini---didorong untuk memanfaatkan barang yang sudah ada, mengurangi limbah, dan pada saat yang sama memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.
Setiap barang yang ditukar di Joli Jolan membawa cerita, kenangan dari pemiliknya sebelumnya, dan harapan bagi mereka yang akan memilikinya selanjutnya.
Ketika saya berbicara dengan Septina, ia bercerita bahwa ide awal Joli Jolan terinspirasi dari komunitas Skoros di Yunani, yang mempraktekkan sistem barter serupa di tengah krisis ekonomi.
"Kami melihat bagaimana komunitas seperti ini tidak hanya menyelamatkan barang-barang dari tempat pembuangan akhir, tapi juga membantu menciptakan rasa solidaritas di antara warga yang beragam," katanya.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Joli Jolan adalah ketidaktahuan sebagian donatur mengenai makna "layak" untuk disumbangkan.
Septina mengisahkan dengan raut wajah yang sedikit muram bagaimana beberapa kali mereka menerima donasi berupa pakaian bekas yang sudah rusak atau bahkan pakaian dalam yang tak layak pakai.
Bagi komunitas yang beroperasi dengan semangat sukarela seperti Joli Jolan, tantangan semacam ini menambah beban. "Kami harus memilah barang-barang itu satu per satu, memastikan tidak ada yang menyinggung perasaan orang lain," ujarnya.
Meski begitu, kegembiraan yang hadir ketika masyarakat menemukan barang-barang yang berguna bagi mereka menghapus segala rasa lelah.
Saya melihat seorang ibu muda yang baru saja mengambil stroller bekas untuk bayinya. Dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan, ia berkata, "Stroller ini akan sangat membantu saya, saya tak mampu membeli yang baru."
Cerita-cerita seperti ini adalah bukti nyata bagaimana ruang kecil di tengah kota Solo ini telah menjadi tempat di mana solidaritas tumbuh subur.
Menurut Septina, setiap bulan komunitas ini berhasil mengelola hingga satu ton sampah yang seharusnya berakhir di tempat pembuangan akhir, tapi kini dialihkan ke tangan yang lebih membutuhkan.
Dari skala kecil ini, Joli Jolan menjadi model bagi gerakan sosial lainnya yang berusaha mengatasi krisis lingkungan melalui pendekatan komunitas.
Namun, Joli Jolan tidak hanya soal barang-barang bekas. Setiap Sabtu, mereka juga mengadakan program Bank Pangan, sebuah inisiatif yang terinspirasi dari gerakan global Food Not Bombs, yang mendistribusikan makanan gratis kepada warga.
Kegiatan ini menunjukkan bahwa di balik gerakan ini, ada kesadaran mendalam tentang ketahanan sosial yang jauh melampaui sekadar pertukaran barang.
Ketika saya berbicara dengan salah satu relawan di sana, ia mengatakan, "Ini lebih dari sekadar memberi barang atau makanan. Ini tentang merawat komunitas kita, tentang memastikan bahwa tidak ada yang merasa sendirian dalam kesulitan."
Kesadaran untuk berbagi dan saling mendukung ini juga tercermin dalam upaya mereka untuk mengadakan workshop dan diskusi terbuka mengenai isu-isu lingkungan dan sosial.
Saya hadir dalam salah satu diskusi tersebut, di mana para peserta berbicara tentang dampak sampah plastik di lingkungan perkotaan dan bagaimana ekonomi sirkular bisa menjadi solusi jangka panjang.
Ada perasaan urgensi di ruangan itu, tapi juga optimisme bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, dari ruang solidaritas seperti Joli Jolan.
Saat hari semakin siang, saya meninggalkan galeri Joli Jolan dengan hati yang lebih ringan dan pikiran yang lebih terbuka.
Di dunia yang sering kali terasa berat oleh tuntutan materi dan kekhawatiran akan masa depan, Joli Jolan adalah pengingat bahwa ada cara lain untuk hidup.
Bahwa dalam ketiadaan, kita bisa menemukan kelimpahan. Bahwa dalam berbagi, kita bisa memperkuat ikatan yang rapuh di antara kita.
Joli Jolan mungkin tidak akan mengubah dunia dalam sekejap, tapi ia telah menunjukkan bahwa ketahanan sosial bisa dibangun dari dasar, dari hal-hal yang mungkin kita anggap kecil, namun memiliki dampak besar.
Di kota Solo, di ruang kecil ini, dunia yang lebih baik sedang dibangun, satu barang bekas, satu piring makanan, satu percakapan pada suatu Sabtu pagi, pada satu waktu.
Di luar sana, dunia mungkin masih berputar dengan kecepatan yang tak terhentikan. Tapi di dalam Joli Jolan, waktu seakan melambat. Di sinilah solidaritas menemukan rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H