Joli Jolan menawarkan alternatif, sebuah langkah kecil namun berarti, untuk keluar dari lingkaran konsumerisme yang tak berujung. Alih-alih membeli barang baru, warga Solo---dan siapa pun yang datang ke sini---didorong untuk memanfaatkan barang yang sudah ada, mengurangi limbah, dan pada saat yang sama memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.
Setiap barang yang ditukar di Joli Jolan membawa cerita, kenangan dari pemiliknya sebelumnya, dan harapan bagi mereka yang akan memilikinya selanjutnya.
Ketika saya berbicara dengan Septina, ia bercerita bahwa ide awal Joli Jolan terinspirasi dari komunitas Skoros di Yunani, yang mempraktekkan sistem barter serupa di tengah krisis ekonomi.
"Kami melihat bagaimana komunitas seperti ini tidak hanya menyelamatkan barang-barang dari tempat pembuangan akhir, tapi juga membantu menciptakan rasa solidaritas di antara warga yang beragam," katanya.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Joli Jolan adalah ketidaktahuan sebagian donatur mengenai makna "layak" untuk disumbangkan.
Septina mengisahkan dengan raut wajah yang sedikit muram bagaimana beberapa kali mereka menerima donasi berupa pakaian bekas yang sudah rusak atau bahkan pakaian dalam yang tak layak pakai.
Bagi komunitas yang beroperasi dengan semangat sukarela seperti Joli Jolan, tantangan semacam ini menambah beban. "Kami harus memilah barang-barang itu satu per satu, memastikan tidak ada yang menyinggung perasaan orang lain," ujarnya.
Meski begitu, kegembiraan yang hadir ketika masyarakat menemukan barang-barang yang berguna bagi mereka menghapus segala rasa lelah.
Saya melihat seorang ibu muda yang baru saja mengambil stroller bekas untuk bayinya. Dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan, ia berkata, "Stroller ini akan sangat membantu saya, saya tak mampu membeli yang baru."
Cerita-cerita seperti ini adalah bukti nyata bagaimana ruang kecil di tengah kota Solo ini telah menjadi tempat di mana solidaritas tumbuh subur.
Menurut Septina, setiap bulan komunitas ini berhasil mengelola hingga satu ton sampah yang seharusnya berakhir di tempat pembuangan akhir, tapi kini dialihkan ke tangan yang lebih membutuhkan.