Dia menunduk, memeriksa ponselnya sebentar---mungkin sudah diberi tahu ada "orang biasa" yang bakal datang. Setelah menyesuaikan wajah saya dengan foto di ponselnya, dia mengangguk pelan. Syukurlah.
Kebingungan Nasional (Atau Setidaknya Personal)
Di dalam rumah, saya merasa seperti di museum hidup.Â
Para tokoh yang duduk di kursi-kursi megah sedang berbincang dengan presiden terpilih. Veronica Tan terlihat tenang, sementara Sri Mulyani sesekali mencatat sesuatu di buku kecilnya. Saya? Hanya duduk di ujung ruangan, menyerap pemandangan yang janggal ini.
Tiba-tiba saya ingat: "Bagaimana jika presiden bertanya soal visi pembangunan?" Ini adalah wilayah yang asing bagi saya. Satu-satunya pengalaman saya dengan "pembangunan" adalah renovasi kecil di dapur rumah, yang lebih banyak memakan waktu daripada menghasilkan sesuatu.
Sementara para calon menteri lain asyik membicarakan kebijakan-kebijakan besar, saya mencoba meyakinkan diri. "Santai, kalau ditanya, tetap pakai jawaban cadangan: Apa saja boleh, Pak, yang penting halal." Ini seperti mantra penyelamat di kepala saya.
Sebuah Lelucon
Setelah menunggu cukup lama, tak ada satu pun yang menghampiri saya. Mungkin mereka lupa mengundang saya, atau mungkin ini hanya lelucon alam semesta.
Bagaimanapun, saya adalah orang biasa di antara para raksasa politik. Di saat mereka sibuk memikirkan kebijakan fiskal dan pembangunan infrastruktur, saya hanya memikirkan bagaimana cara pulang tanpa terlalu menarik perhatian.
Namun, di tengah absurditas ini, saya menyadari sesuatu: kadang, hidup memberikan kita situasi yang luar biasa aneh. Mungkin hari ini saya tidak jadi menteri. Tapi siapa tahu? Mungkin besok ada panggilan lain---atau setidaknya, saya akan punya cerita lucu untuk diceritakan ke teman-teman sambil ngopi.
Toh, apa saja boleh, yang penting halal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H