Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengaduk Bubur, Mengaduk Logika: Dilema Kosmik yang Tersembunyi di Balik Semangkuk Bubur

10 Oktober 2024   09:56 Diperbarui: 10 Oktober 2024   16:37 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI bubur ayam | Sumber gambar: idntimes.com

Jika ada satu pertanyaan mendasar yang bisa mengguncang fondasi logika manusia, mungkin pertanyaan itu bukan soal "Apakah Tuhan ada?" atau "Siapa yang menciptakan alam semesta?" Bukan. Pertanyaan yang sungguh membingungkan justru datang dari meja makan: Bubur, diaduk atau tidak diaduk? Pertanyaan ini, jika direnungkan lebih dalam, adalah salah satu misteri terbesar dalam hidup---sebuah teka-teki yang menguji kecerdasan sekaligus kesabaran.

Mari kita pikirkan baik-baik. Kenapa orang sampai berdebat begitu serius soal bubur yang diaduk atau tidak diaduk?

Apakah karena cita rasa, tekstur, atau hanya karena kita, sebagai manusia, memiliki kebutuhan mendalam untuk menciptakan konflik dari hal-hal remeh?

Seperti misalnya, kenapa ada orang yang suka berdiri saat naik eskalator padahal bisa saja ia diam dan menikmati perjalanan yang dipercepat oleh gravitasi?

Nah, bubur diaduk atau tidak, mungkin adalah salah satu dari "pertanyaan soal eskalator" ini. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban pasti, tapi selalu bikin kita bertanya-tanya: Kenapa?

Saya pribadi? Saya tidak berpihak pada kedua kubu itu. Jujur saja, saya lebih tertarik pada sesuatu yang sering kita abaikan: bareng siapa makan buburnya.

Mungkin kita terlalu sibuk mengaduk-aduk mangkuk sampai lupa melihat siapa yang duduk di seberang meja.

Dan di sinilah letak kejeniusan bubur. Mangkuk sederhana ini, se centong bubur yang dari zaman dulu hanya terbuat dari nasi dan air, bisa menggali begitu banyak lapisan eksistensial dari hidup kita.

Tapi tenang, saya di sini tidak untuk memberi ceramah filsafat soal bubur. Meskipun kalau dipikir-pikir, bubur sebenarnya adalah filosofi hidup dalam bentuk makanan. 

Sejenis makanan dalam mangkuk yang mengajarkan kita bahwa terkadang, hal-hal yang paling sederhana dalam hidup bisa mengundang perdebatan yang paling kompleks.

Bubur dan Perang Dingin di Meja Makan

Pertama-tama, mari kita setel ulang logika kita. 

Apa sih yang membuat bubur ayam jadi medan perang gastronomi? Sederhana. Kebebasan pilihan! Ini adalah manifestasi kebebasan individu paling dasar: diaduk atau tidak diaduk.

Di satu sudut, ada kubu diaduk yang percaya bahwa bubur ayam harus diolah seperti lukisan abstrak di dalam sebuah mangkuk, mencampur semua elemen menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Di sudut lainnya, ada kubu tak diaduk yang menganggap mencampur bubur sama dengan menghancurkan identitas setiap elemen; kacang, ayam suwir, dan kaldu, semuanya harus tetap terpisah, seperti negara-negara di bawah payung PBB.

Jika kita mengikuti logika ini, maka diaduk atau tidak diaduk adalah simbol dari ideologi yang lebih besar.

Diaduk---menghargai kolaborasi, kerjasama, dan kesetaraan rasa. Tidak diaduk---menjunjung individualitas, menghargai keberbedaan, dan memelihara harmoni tekstur.

Jadi, apakah memilih cara makan bubur sama dengan menentukan pandangan hidup? Bisa jadi. Tetapi di sini muncul pertanyaan yang lebih penting: Siapa yang Anda ajak makan bubur?

Saya berani bertaruh, tidak ada yang peduli dengan diaduk atau tidak diaduk jika Anda sedang makan bubur dengan orang yang Anda idolakan.

Mungkin karena pada akhirnya, kenikmatan bubur itu bukan soal teknik, tapi soal kebersamaan.

Bubur: Persoalan Selera atau Hubungan Sosial?

Sekarang kita beralih ke pertanyaan lebih seru: Jenis bubur apa yang paling disukai? Ini menarik, karena di sini, Indonesia benar-benar menyajikan pilihan yang tak ada habisnya.

Dari bubur ayam di Jakarta yang jadi topik perdebatan di meja makan, hingga bubur Manado yang penuh sayuran dan aroma pedas khas Sulawesi. Ada juga bubur ketan hitam yang manis legit, atau bubur sumsum yang lembut tapi hanya sempurna jika dicampur gula merah.

Lihat? Bahkan bubur manis pun punya misterinya sendiri.

Namun kemudian satu pertanyaan penting lagi muncul: Apakah ada hubungan antara jenis bubur yang kita suka dan kepribadian kita?

Misalnya, apakah orang yang suka bubur kacang hijau lebih sabar, karena butuh waktu lama untuk mengaduk kacang hijau yang benar-benar matang?

Apakah penyuka bubur pedas Manado adalah seorang yang lebih berani dalam hidup, karena mereka siap menghadapi sensasi panas dan menggigit dari perpaduan rempah-rempahnya? Bisa jadi.

Tapi, satu hal yang pasti, dalam segala kompleksitas bubur, semua orang berhak memiliki preferensi, karena toh, hidup ini juga adalah tentang memilih.

Namun, saya akan kembali lagi ke poin awal. Apakah selera kita tentang bubur benar-benar soal rasa? Atau justru tentang siapa yang kita ajak untuk makan?

Bubur, seperti yang saya yakini, adalah metafora untuk hubungan sosial. 

Anda tidak akan menemukan orang yang makan bubur sendirian dan berdebat dengan dirinya sendiri tentang bubur diaduk atau tidak diaduk.

Tapi ketika Anda duduk bersama teman, keluarga, atau bahkan kekasih, tiba-tiba, bubur menjadi bahan pembicaraan yang menyenangkan.

Ada sesuatu yang sangat intim tentang berbagi semangkuk bubur dengan seseorang. Seperti menunggu sinyal di lampu merah, kadang semangkuk bubur membuat kita berhenti sejenak untuk sekedar menikmati momen kebersamaan.

Filosofi di Balik Bubur dan Sejarahnya

Jangan lupakan juga, bubur sudah ada sejak zaman Kaisar Kuning di Tiongkok, ketika bubur adalah penyelamat hidup di masa kelaparan.

Jadi, jika saat ini bubur bisa memicu perdebatan kecil tentang cara makan, mungkin kita harus mengingat bahwa pada zaman dahulu, bubur adalah simbol harapan dan kelangsungan hidup.

Jadi, apakah Anda termasuk sekte bubur diaduk atau tidak diaduk, intinya adalah: kita masih bisa makan bubur.

Tempat Favorit untuk Menikmatinya

Nah, berbicara tentang tempat makan bubur, kita semua punya lokasi favorit. Ada Bubur Ayam Barito dengan topping melimpah atau Bubur Kwang Tung yang buka 24 jam. 

Harganya? Cukup bersahabat, terutama jika dibandingkan dengan biaya terapi psikologi yang mungkin Anda butuhkan setelah berdebat panjang soal bubur dengan teman-teman.

Jadi, jika lain kali Anda pergi makan bubur, ingatlah: bubur bukan cuma soal rasa. Bubur adalah cara kita berinteraksi, berdebat, dan, pada akhirnya, menghubungkan diri kita dengan orang lain.

Semangkuk bubur bisa jadi adalah salah satu penemuan manusia paling penting yang tidak kita sadari---karena di setiap sendok bubur yang kita aduk (atau tidak aduk), di saat itulah kita sedang menggali lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun