Pertama-tama, mari kita setel ulang logika kita.Â
Apa sih yang membuat bubur ayam jadi medan perang gastronomi? Sederhana. Kebebasan pilihan! Ini adalah manifestasi kebebasan individu paling dasar: diaduk atau tidak diaduk.
Di satu sudut, ada kubu diaduk yang percaya bahwa bubur ayam harus diolah seperti lukisan abstrak di dalam sebuah mangkuk, mencampur semua elemen menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Di sudut lainnya, ada kubu tak diaduk yang menganggap mencampur bubur sama dengan menghancurkan identitas setiap elemen; kacang, ayam suwir, dan kaldu, semuanya harus tetap terpisah, seperti negara-negara di bawah payung PBB.
Jika kita mengikuti logika ini, maka diaduk atau tidak diaduk adalah simbol dari ideologi yang lebih besar.
Diaduk---menghargai kolaborasi, kerjasama, dan kesetaraan rasa. Tidak diaduk---menjunjung individualitas, menghargai keberbedaan, dan memelihara harmoni tekstur.
Jadi, apakah memilih cara makan bubur sama dengan menentukan pandangan hidup? Bisa jadi. Tetapi di sini muncul pertanyaan yang lebih penting: Siapa yang Anda ajak makan bubur?
Saya berani bertaruh, tidak ada yang peduli dengan diaduk atau tidak diaduk jika Anda sedang makan bubur dengan orang yang Anda idolakan.
Mungkin karena pada akhirnya, kenikmatan bubur itu bukan soal teknik, tapi soal kebersamaan.
Bubur: Persoalan Selera atau Hubungan Sosial?
Sekarang kita beralih ke pertanyaan lebih seru: Jenis bubur apa yang paling disukai? Ini menarik, karena di sini, Indonesia benar-benar menyajikan pilihan yang tak ada habisnya.