Jangan lupakan juga, bubur sudah ada sejak zaman Kaisar Kuning di Tiongkok, ketika bubur adalah penyelamat hidup di masa kelaparan.
Jadi, jika saat ini bubur bisa memicu perdebatan kecil tentang cara makan, mungkin kita harus mengingat bahwa pada zaman dahulu, bubur adalah simbol harapan dan kelangsungan hidup.
Jadi, apakah Anda termasuk sekte bubur diaduk atau tidak diaduk, intinya adalah: kita masih bisa makan bubur.
Tempat Favorit untuk Menikmatinya
Nah, berbicara tentang tempat makan bubur, kita semua punya lokasi favorit. Ada Bubur Ayam Barito dengan topping melimpah atau Bubur Kwang Tung yang buka 24 jam.Â
Harganya? Cukup bersahabat, terutama jika dibandingkan dengan biaya terapi psikologi yang mungkin Anda butuhkan setelah berdebat panjang soal bubur dengan teman-teman.
Jadi, jika lain kali Anda pergi makan bubur, ingatlah: bubur bukan cuma soal rasa. Bubur adalah cara kita berinteraksi, berdebat, dan, pada akhirnya, menghubungkan diri kita dengan orang lain.
Semangkuk bubur bisa jadi adalah salah satu penemuan manusia paling penting yang tidak kita sadari---karena di setiap sendok bubur yang kita aduk (atau tidak aduk), di saat itulah kita sedang menggali lebih dalam tentang siapa kita sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H