Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Jarak Emosional: Mengapa Anak dan Orangtua Semakin Jauh di Era Modern?

24 September 2024   14:35 Diperbarui: 25 September 2024   22:58 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hubungan orangtua dan anak | SHUTTERSTOCK

Di sebuah rumah di pedesaan Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, Yuli duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu depan yang sudah jarang dibuka.

Suaminya sedang di ladang, sementara anak-anaknya tak lagi sering terlihat di rumah. Sebagai seorang ibu dari tiga anak, Yuli sering merasa ada sesuatu yang hilang. 

Dulu, suara canda tawa memenuhi rumah sederhana ini, namun sekarang yang tersisa hanyalah keheningan. Yuli merenung, bertanya pada dirinya sendiri, "Kapan terakhir kali aku dan anak-anak benar-benar berbicara dari hati ke hati?"

Kabupaten Musi Rawas, dengan bentangan sawah dan kebun karet yang mengelilingi rumah-rumah warganya, menawarkan kedamaian yang dulu menenteramkan. 

Namun, kini perasaan Yuli mencerminkan rasa sepi yang semakin dirasakan banyak orangtua di daerah ini. Anak-anak semakin sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, sementara orangtua merasa seolah-olah ada jurang yang memisahkan mereka dari anak-anak yang pernah begitu dekat.

Fenomena seperti yang dialami Yuli bukanlah hal yang asing, baik di Musi Rawas maupun di berbagai daerah lain di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orangtua yang mulai merasakan jarak emosional dengan anak-anak mereka, seakan ada sekat yang sulit ditembus. Apakah ini sekadar perbedaan zaman dan generasi, atau ada faktor-faktor lain yang lebih kompleks?

Perbedaan Generasi atau Pengaruh Zaman?

Fenomena jarak hubungan antara orangtua dan anak bukanlah hal baru. Namun, di era modern, perbedaan nilai-nilai antargenerasi semakin jelas terasa. Sebuah survei yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies menunjukkan bahwa lebih dari 50% orangtua di pedesaan, termasuk Musi Rawas, merasakan bahwa hubungan dengan anak-anak mereka lebih jauh dibandingkan dengan hubungan mereka dengan orangtua mereka sendiri dulu.

Orangtua dari generasi X di Musi Rawas tumbuh di era yang menekankan kerja keras fisik, penghormatan kepada tradisi, dan kehidupan yang bersandar pada alam. 

Di desa-desa seperti tempat tinggal Yuli, masyarakat masih menjunjung tinggi nilai gotong royong dan kearifan lokal. Namun, anak-anak mereka, terutama generasi milenial dan Generasi Z, dibentuk oleh era digital yang mulai merambah desa-desa. Mereka hidup dalam arus informasi yang lebih cepat dan terbuka. Perbedaan nilai ini sering kali menciptakan kesenjangan yang tak kasat mata.

"Generasi sekarang punya cara berpikir yang sangat berbeda," ungkap Dr. Irma Mardiana, seorang psikolog keluarga dari Universitas Indonesia. "Anak-anak di pedesaan juga sudah mulai terbiasa dengan kehidupan modern. Mereka terpapar teknologi dan budaya luar yang membuat mereka merasa hidup di dua dunia: dunia tradisional orangtua mereka, dan dunia digital yang lebih terbuka."

Tetapi, apakah perbedaan nilai ini benar-benar menjadi penyebab utama? Ataukah ada pengaruh lain, seperti teknologi, yang memperlebar jarak tersebut?

Teknologi Menjauhkan yang Dekat

Meski desa tempat tinggal Yuli jauh dari kota besar, teknologi tetap menemukan jalannya. Ponsel pintar dan media sosial telah merambah hingga ke Musi Rawas. Jika dulu orangtua dan anak-anak bercakap-cakap di ruang tamu sambil menikmati teh sore, kini situasi berubah. Anak-anak lebih sering duduk terpaku pada layar ponsel, menjelajahi dunia maya yang seolah lebih menarik daripada percakapan di rumah.

"Sekarang, waktu kumpul keluarga malah jadi sepi. Mereka lebih sering sibuk main HP daripada ngobrol sama saya," kata Dian, seorang ibu lainnya di Musi Rawas. "Padahal, dulu waktu saya kecil, habis makan sore, kita pasti ngobrol panjang lebar."

Fenomena ini mengingatkan kita pada hasil penelitian dari Universitas Gadjah Mada, yang menyatakan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan bisa memengaruhi kualitas hubungan keluarga, termasuk di daerah pedesaan. Teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi justru sering menjadi penghalang interaksi yang nyata.

"Anak-anak sekarang lebih memilih berbagi cerita di media sosial daripada bercerita langsung kepada orangtua mereka," ujar Prof. Bambang Widodo, seorang pakar interaksi keluarga. "Teknologi sebenarnya bisa menjadi jembatan, tetapi dalam banyak kasus, justru menjadi tembok yang memisahkan."

Di Musi Rawas, teknologi mungkin tidak berkembang secepat di kota-kota besar, tetapi dampaknya sudah mulai terasa. Anak-anak mencari jawaban di internet, sementara orangtua merasa kehilangan peran sebagai sumber nasihat dan pengalaman hidup.

Stres Ekonomi dan Kehidupan Modern

Selain teknologi, faktor ekonomi juga memberikan kontribusi besar terhadap renggangnya hubungan antara orangtua dan anak di daerah seperti Musi Rawas. Di sini, banyak orangtua bekerja sebagai petani karet atau buruh tani. Tuntutan ekonomi membuat mereka harus bekerja dari pagi hingga petang, meninggalkan sedikit waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak mereka.

"Saya sering pulang sudah gelap, anak-anak sudah di kamar masing-masing," ujar Rudi, seorang ayah di Musi Rawas yang bekerja di ladang karet. "Saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka, tetapi kondisi ekonomi tidak memungkinkan."

Di sisi lain, anak-anak juga semakin sibuk dengan tuntutan sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang semakin meningkat. Keseimbangan antara kerja, sekolah, dan kehidupan keluarga menjadi tantangan yang nyata bagi banyak keluarga di pedesaan.

Berkaca pada Diri Sendiri

Jika saya melihat ke belakang, masa kecil saya tidak jauh berbeda. Orangtua saya bekerja keras, dan meskipun kami tinggal di rumah yang sama, terkadang komunikasi menjadi hal yang sulit. Konflik antar generasi bukanlah sesuatu yang asing; itu adalah bagian dari proses tumbuh bersama. Namun, saya ingat bagaimana orangtua saya selalu berusaha untuk terhubung kembali setelah pertengkaran. Ada usaha untuk memahami perbedaan pandangan, meskipun sulit.

Kini, sebagai orangtua, saya merasakan tantangan yang sama dengan yang dihadapi oleh banyak orangtua di Musi Rawas. Generasi yang berbeda, kehidupan yang semakin modern, dan teknologi yang mendominasi interaksi menjadi tantangan besar. Saya sering berpikir, bagaimana saya bisa tetap dekat dengan anak-anak saya di tengah semua perubahan ini?

Membangun Kedekatan Kembali

Meski terasa ada jarak yang semakin lebar, bukan berarti hubungan antara orangtua dan anak tidak bisa diperbaiki. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membangun kembali kedekatan tersebut.

  • 1. Buat Waktu Khusus Tanpa Teknologi 

Di daerah seperti Musi Rawas, di mana waktu bersama sering kali terhambat oleh pekerjaan di ladang, sangat penting untuk menyisihkan waktu tanpa gangguan teknologi. Saat makan malam bersama atau waktu istirahat sore, matikan ponsel dan ajak anak-anak berbicara dari hati ke hati.

  • 2. Dengarkan Tanpa Menghakimi

Anak-anak di era sekarang sering kali enggan berbicara kepada orangtua karena merasa dihakimi. Orangtua harus belajar mendengarkan dengan sabar dan tanpa prasangka. Ini akan membantu anak-anak merasa dihargai dan didengar.

  • 3. Berikan Teladan dalam Berkomunikasi

Orangtua harus menjadi contoh dalam cara berkomunikasi. Mereka bisa menunjukkan kepada anak-anak bahwa percakapan terbuka dan jujur adalah kunci dalam membangun hubungan yang kuat.

  • 4. Jaga Keseimbangan antara Kerja dan Waktu untuk Keluarga 

Meski pekerjaan di ladang atau di kebun karet sangat menuntut, orangtua harus tetap berusaha menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Anak-anak membutuhkan kehadiran orangtua, bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga emosional.

Menjembatani Kesenjangan Generasi

Pada akhirnya, perbedaan generasi mungkin selalu ada, baik di kota besar maupun di pedesaan seperti Musi Rawas. Namun, perbedaan ini tidak perlu menciptakan jarak yang tak terjembatani. Dengan usaha untuk saling memahami dan membangun komunikasi yang lebih baik, hubungan antara orangtua dan anak bisa menjadi lebih kuat.

Pepatah lokal 'bakul sirih ditimbang batu'---seperti bakul sirih yang selalu mencari batu penyeimbang---mengajarkan kita bahwa meski ada perbedaan, selalu ada cara untuk menemukan keseimbangan dan harmoni dalam hubungan keluarga.

Jika kita mau berusaha, jarak emosional yang terasa semakin lebar dapat dijembatani, dan kita bisa kembali menemukan kedekatan yang dulu pernah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun