Tetapi, apakah perbedaan nilai ini benar-benar menjadi penyebab utama? Ataukah ada pengaruh lain, seperti teknologi, yang memperlebar jarak tersebut?
Teknologi Menjauhkan yang Dekat
Meski desa tempat tinggal Yuli jauh dari kota besar, teknologi tetap menemukan jalannya. Ponsel pintar dan media sosial telah merambah hingga ke Musi Rawas. Jika dulu orangtua dan anak-anak bercakap-cakap di ruang tamu sambil menikmati teh sore, kini situasi berubah. Anak-anak lebih sering duduk terpaku pada layar ponsel, menjelajahi dunia maya yang seolah lebih menarik daripada percakapan di rumah.
"Sekarang, waktu kumpul keluarga malah jadi sepi. Mereka lebih sering sibuk main HP daripada ngobrol sama saya," kata Dian, seorang ibu lainnya di Musi Rawas. "Padahal, dulu waktu saya kecil, habis makan sore, kita pasti ngobrol panjang lebar."
Fenomena ini mengingatkan kita pada hasil penelitian dari Universitas Gadjah Mada, yang menyatakan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan bisa memengaruhi kualitas hubungan keluarga, termasuk di daerah pedesaan. Teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi justru sering menjadi penghalang interaksi yang nyata.
"Anak-anak sekarang lebih memilih berbagi cerita di media sosial daripada bercerita langsung kepada orangtua mereka," ujar Prof. Bambang Widodo, seorang pakar interaksi keluarga. "Teknologi sebenarnya bisa menjadi jembatan, tetapi dalam banyak kasus, justru menjadi tembok yang memisahkan."
Di Musi Rawas, teknologi mungkin tidak berkembang secepat di kota-kota besar, tetapi dampaknya sudah mulai terasa. Anak-anak mencari jawaban di internet, sementara orangtua merasa kehilangan peran sebagai sumber nasihat dan pengalaman hidup.
Stres Ekonomi dan Kehidupan Modern
Selain teknologi, faktor ekonomi juga memberikan kontribusi besar terhadap renggangnya hubungan antara orangtua dan anak di daerah seperti Musi Rawas. Di sini, banyak orangtua bekerja sebagai petani karet atau buruh tani. Tuntutan ekonomi membuat mereka harus bekerja dari pagi hingga petang, meninggalkan sedikit waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak mereka.
"Saya sering pulang sudah gelap, anak-anak sudah di kamar masing-masing," ujar Rudi, seorang ayah di Musi Rawas yang bekerja di ladang karet. "Saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka, tetapi kondisi ekonomi tidak memungkinkan."
Di sisi lain, anak-anak juga semakin sibuk dengan tuntutan sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang semakin meningkat. Keseimbangan antara kerja, sekolah, dan kehidupan keluarga menjadi tantangan yang nyata bagi banyak keluarga di pedesaan.
Berkaca pada Diri Sendiri
Jika saya melihat ke belakang, masa kecil saya tidak jauh berbeda. Orangtua saya bekerja keras, dan meskipun kami tinggal di rumah yang sama, terkadang komunikasi menjadi hal yang sulit. Konflik antar generasi bukanlah sesuatu yang asing; itu adalah bagian dari proses tumbuh bersama. Namun, saya ingat bagaimana orangtua saya selalu berusaha untuk terhubung kembali setelah pertengkaran. Ada usaha untuk memahami perbedaan pandangan, meskipun sulit.
Kini, sebagai orangtua, saya merasakan tantangan yang sama dengan yang dihadapi oleh banyak orangtua di Musi Rawas. Generasi yang berbeda, kehidupan yang semakin modern, dan teknologi yang mendominasi interaksi menjadi tantangan besar. Saya sering berpikir, bagaimana saya bisa tetap dekat dengan anak-anak saya di tengah semua perubahan ini?