Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup Itu Mau Cari Apa?

20 September 2024   23:47 Diperbarui: 21 September 2024   00:30 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: flickr.com

Salah satu pertanyaan yang paling mendalam dan tak pernah lepas dari kehidupan manusia adalah: Hidup itu mau cari apa?

Pertanyaan ini tampaknya sederhana, namun membawa kita pada kedalaman refleksi dan permenungan.

Bagi banyak orang, hidup adalah perjalanan yang terus berjalan, di mana jawaban atas pertanyaan ini berubah sesuai dengan fase-fase yang mereka lalui.

Namun, adakah satu jawaban yang absolut? 

Jorge Luis Borges, seorang penulis dan filsuf asal Argentina, mungkin akan mengatakan bahwa: "Hidup adalah refleksi dari waktu, ilusi dari pilihan-pilihan yang sudah dibuat, dan kesadaran yang seringkali datang terlambat."

Dalam salah satu puisinya, Borges mengakui bahwa ia telah melakukan dosa terburuk yang bisa dilakukan seorang manusia: aku tidak berbahagia.

Refleksi ini bukanlah sekadar penyesalan pribadi, melainkan juga sebuah pelajaran penting tentang bagaimana kita menjalani hidup.

Apakah kita terus mengejar hal-hal yang kita anggap penting---karier, kesuksesan, pengakuan---tanpa menyadari apa yang sebenarnya kita cari?

Borges, dalam keindahan prosa yang puitis, mengajak kita melihat bahwa waktu tidak hanya sebuah kenyataan objektif, melainkan konstruksi subjektif pikiran kita.

"Hidup adalah serangkaian momen," katanya, "dan satu momen ketika seseorang menyadari siapa dirinya selamanya." Dalam konteks ini, pertanyaan tentang apa yang kita cari dalam hidup menjadi lebih rumit.

Apa yang kita kejar seringkali hanya refleksi dari ekspektasi masyarakat atau budaya, bukan kebutuhan esensial yang kita rasakan sebagai manusia.

Kebahagiaan dan Tujuan: Apakah Kita Mencarinya di Tempat yang Salah?

Borges menyesali hidupnya karena ia merasa tidak cukup berani untuk bahagia. Kebahagiaan, dalam pandangan Borges, bukanlah sesuatu yang dapat diraih dengan mengejar kesempurnaan atau prestasi besar.

Ia adalah sesuatu yang hadir dalam keseharian kita, dalam tindakan-tindakan kecil yang seringkali terabaikan. Tapi mengapa kita begitu sering mengabaikannya?

Mengapa kita membiarkan kehidupan modern dengan segala tuntutannya menyeret kita dari satu tugas ke tugas berikutnya tanpa pernah benar-benar berhenti dan bertanya: Apakah saya bahagia?

Bagi masyarakat Indonesia yang seringkali terjebak dalam rutinitas harian---antara bekerja, mengurus keluarga, dan menghadapi tekanan sosial---pertanyaan ini seakan tidak memiliki ruang.

Namun, justru di sini letak ironi besar itu. Kita sering menganggap kebahagiaan sebagai sesuatu yang besar dan jauh, padahal bisa saja ia berada di sekitar kita, tersembunyi dalam momen-momen kecil.

Borges menyesali waktunya yang dihabiskan untuk kesempurnaan, bukan untuk mengejar kebahagiaan sederhana. 

Jika ia bisa mengulang hidupnya, ia akan membuat lebih banyak kesalahan, lebih banyak menikmati perjalanan, dan lebih sedikit mengejar hal-hal yang, pada akhirnya, tidak terlalu penting.

Menemukan Makna dalam Kehidupan yang Absurd

Franz Kafka dan Albert Camus, dua pemikir eksistensialis besar, seringkali menggambarkan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang absurd. 

Dalam karyanya The Metamorphosis, Kafka mencerminkan absurditas kehidupan manusia melalui karakter Gregor Samsa, seorang pria yang tiba-tiba berubah menjadi serangga. 

Perubahan yang terjadi tanpa alasan yang jelas ini menggambarkan betapa kehidupan sering kali tampak tak terduga, dan bahkan mungkin tidak adil. 

Camus, di sisi lain, dalam esainya The Myth of Sisyphus menyatakan bahwa manusia harus terus hidup, meskipun kesadaran akan absurditas dunia ini. Hidup itu sendiri mungkin tidak memiliki makna intrinsik, tetapi kita tetap mencari makna dalam ketidakbermaknaan itu.

Sudut pandang eksistensial ini memaksa kita untuk mempertimbangkan: apa sebenarnya yang kita kejar dalam hidup? 

Ketika segala sesuatu tampaknya kacau dan tidak masuk akal, apakah kita mencari makna yang tak pernah ada, atau kitalah yang sedang berusaha menciptakan makna sendiri?

Bertahan di Tengah Tuntutan Masyarakat

Kehidupan modern sering kali mengatur manusia dalam rutinitas yang kaku. Pergi sekolah, kuliah, mendapatkan pekerjaan, menikah, memiliki anak, dan akhirnya pensiun menjadi alur yang diharapkan oleh masyarakat.

Namun, semakin banyak orang yang merasa gelisah, merasakan tekanan dari harapan sosial yang mungkin tidak sejalan dengan keinginan pribadi mereka.

Menurut sebuah studi di Journal of Economic Psychology, ketidakpuasan hidup sering kali muncul dari ketidakmampuan untuk memenuhi harapan masyarakat yang sebenarnya tidak relevan dengan kebutuhan dan keinginan kita sendiri.

Orang sering kali menghabiskan hidup mereka mengejar status sosial, harta benda, atau pengakuan, tetapi kemudian merasa kosong setelah mencapainya.

Mengapa demikian? Karena mungkin, sejak awal, apa yang mereka kejar bukanlah apa yang sebenarnya mereka inginkan.

Di dunia yang terus-menerus menuntut kita untuk mencapai lebih banyak, kita cenderung melupakan apa yang benar-benar penting bagi kita.

Filosofi eksistensial mengajak kita untuk bertanya: Apakah kita benar-benar ingin mengikuti arus yang sudah ditetapkan, atau kita harus berani melawan dan menemukan jalan kita sendiri?

Menemukan Kebebasan dalam Ketidakpastian

Seorang filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, pernah berkata bahwa "Manusia dikutuk untuk bebas." Di satu sisi, kebebasan adalah sesuatu yang diinginkan banyak orang---kemampuan untuk membuat pilihan, menentukan nasib sendiri.

Namun, kebebasan ini juga membawa beban tanggung jawab. Dalam dunia yang tidak menawarkan petunjuk pasti, kita harus menciptakan makna kita sendiri, menentukan tujuan kita sendiri.

Hal ini bisa menjadi hal yang menakutkan. Ketika tidak ada panduan pasti tentang apa yang harus dilakukan atau ke mana kita harus pergi, banyak yang merasa tersesat.

Namun, di sisi lain, kebebasan ini juga memberikan kesempatan luar biasa bagi kita untuk mengejar hal-hal yang benar-benar kita hargai dan cintai.

Ketidakpastian ini memungkinkan kita untuk menciptakan hidup yang penuh makna, berdasarkan apa yang kita anggap penting.

Keseimbangan antara Pencapaian dan Kebahagiaan

Di dunia yang sangat terobsesi dengan kesuksesan dan pencapaian, kita sering lupa bahwa kebahagiaan dan pencapaian tidak selalu berjalan seiring.

Penelitian dari Harvard Study of Adult Development, sebuah studi longitudinal yang telah berlangsung selama lebih dari 80 tahun, menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari pencapaian materi atau status, melainkan dari hubungan sosial yang bermakna.

Studi ini menemukan bahwa orang yang memiliki hubungan yang hangat dan penuh dukungan dengan keluarga, teman, dan komunitas cenderung lebih bahagia dan lebih sehat secara emosional di usia lanjut.

Jika kita mengejar kesuksesan tanpa memperhatikan hubungan kita dengan orang lain, kita mungkin akan mencapai tujuan kita, tetapi dengan harga yang mahal: kesepian, ketidakbahagiaan, dan kehampaan.

Jadi, mungkin pertanyaan yang lebih baik daripada "Apa yang ingin kita capai?" adalah "Dengan siapa kita ingin menjalani hidup?"

Refleksi: Hidup Itu Mau Cari Apa?

Mungkin, pada akhirnya, yang kita cari bukanlah kesuksesan atau kebahagiaan dalam bentuk yang dipaksakan oleh masyarakat. Mungkin yang kita cari hanyalah makna.

Namun, makna itu tidak datang dari luar diri kita. Seperti yang diajarkan oleh para filsuf eksistensial, makna adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri.

Dan dalam dunia yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, pencarian makna ini adalah sebuah perjalanan tanpa akhir.

Sebuah hidup yang bermakna adalah hidup yang kita bangun sendiri, berdasarkan apa yang kita yakini, cintai, dan hargai.

Jadi, Sebenarnya hidup itu mau cari apa? 

Mungkin jawabannya ada dalam pertanyaan itu sendiri. Kita tak perlu terlalu keras mencari sesuatu yang mungkin sudah ada---tepat di hadapan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun