Apa yang kita kejar seringkali hanya refleksi dari ekspektasi masyarakat atau budaya, bukan kebutuhan esensial yang kita rasakan sebagai manusia.
Kebahagiaan dan Tujuan: Apakah Kita Mencarinya di Tempat yang Salah?
Borges menyesali hidupnya karena ia merasa tidak cukup berani untuk bahagia. Kebahagiaan, dalam pandangan Borges, bukanlah sesuatu yang dapat diraih dengan mengejar kesempurnaan atau prestasi besar.
Ia adalah sesuatu yang hadir dalam keseharian kita, dalam tindakan-tindakan kecil yang seringkali terabaikan. Tapi mengapa kita begitu sering mengabaikannya?
Mengapa kita membiarkan kehidupan modern dengan segala tuntutannya menyeret kita dari satu tugas ke tugas berikutnya tanpa pernah benar-benar berhenti dan bertanya: Apakah saya bahagia?
Bagi masyarakat Indonesia yang seringkali terjebak dalam rutinitas harian---antara bekerja, mengurus keluarga, dan menghadapi tekanan sosial---pertanyaan ini seakan tidak memiliki ruang.
Namun, justru di sini letak ironi besar itu. Kita sering menganggap kebahagiaan sebagai sesuatu yang besar dan jauh, padahal bisa saja ia berada di sekitar kita, tersembunyi dalam momen-momen kecil.
Borges menyesali waktunya yang dihabiskan untuk kesempurnaan, bukan untuk mengejar kebahagiaan sederhana.Â
Jika ia bisa mengulang hidupnya, ia akan membuat lebih banyak kesalahan, lebih banyak menikmati perjalanan, dan lebih sedikit mengejar hal-hal yang, pada akhirnya, tidak terlalu penting.
Menemukan Makna dalam Kehidupan yang Absurd
Franz Kafka dan Albert Camus, dua pemikir eksistensialis besar, seringkali menggambarkan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang absurd.Â
Dalam karyanya The Metamorphosis, Kafka mencerminkan absurditas kehidupan manusia melalui karakter Gregor Samsa, seorang pria yang tiba-tiba berubah menjadi serangga.Â
Perubahan yang terjadi tanpa alasan yang jelas ini menggambarkan betapa kehidupan sering kali tampak tak terduga, dan bahkan mungkin tidak adil.Â