Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - eklegein

Meminati Filsafat//Sejarah//Ilmu Pendidikan --- Film, Bola, dan AS Roma. Menyukai diskusi mencerahkan yang memperluas wawasan. Menyukai diskusi dan introspeksi yang membuka wawasan baru tentang kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Zaken Kabinet: Harapan Profesionalisme atau Sekedar Mimpi di Siang Bolong?

17 September 2024   14:38 Diperbarui: 17 September 2024   14:43 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PAN, Golkar, Gerindra dan PKB sepakat untuk berkoalisi dalam Pilpres 2024, Minggu 13 Agustus 2023-Instagram-/disway.id

"Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri." - Kahlil Gibran

Di tengah kekacauan politik dan perubahan global, kita dihadapkan pada pertanyaan yang menggetarkan: Bisakah Indonesia melangkah keluar dari bayang-bayang kepentingan politik dan masuk ke era pemerintahan profesional melalui konsep zaken kabinet? 

Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, gagasan ini tampak seperti angin segar yang membawa harapan. Namun, kita perlu bertanya: apakah ini hanya angan-angan atau solusi nyata bagi permasalahan bangsa?

Sebagaimana kita lihat di negara-negara Eropa seperti Italia dan Belanda, model technocratic government yang diterapkan memang menarik. Para profesional, bukan politisi, diangkat untuk memimpin kementerian penting dengan satu tujuan: efisiensi. 

Dalam teori, zaken kabinet menjanjikan pemerintahan yang terlepas dari pengaruh politik, fokus pada keahlian dan pelayanan publik. Tetapi, apakah konsep ini bisa bertahan dalam realitas politik Indonesia yang sering kali lebih seperti pertarungan gladiator daripada permainan catur strategis?

Zaken Kabinet: Profesionalisme atau Kompromi?

Di atas kertas, zaken kabinet tampak seperti jawaban bagi segala problematika pemerintahan kita. Bayangkan seorang ahli di bidang ekonomi memegang kendali di Kementerian Keuangan, atau seorang pakar kesehatan memimpin reformasi di bidang kesehatan.

Tidak ada janji manis yang digembor-gemborkan hanya untuk meraih suara. Tidak ada kursi menteri yang diperebutkan sebagai "hadiah" bagi para elite politik. Semua berdasarkan meritokrasi. Namun, kita tahu bahwa politik Indonesia tidak pernah sesederhana itu.

Seperti yang dikatakan oleh pengamat politik Adi Prayitno, "Membentuk kabinet berbasis keahlian akan sulit jika tetap terikat pada kompromi politik. Partai politik cenderung menuntut posisi sebagai imbalan atas dukungan mereka." Di sinilah letak tantangannya. 

Model zaken kabinet mungkin bisa diterapkan dalam teori, namun dalam praktik, bagaimana caranya menghindari tekanan koalisi politik? Dalam sistem politik yang sudah terbiasa dengan kompromi dan distribusi kekuasaan, gagasan zaken kabinet tampak seperti mimpi siang bolong.

Realitas Sosial-Politik: Masalah di Bawah Permukaan

Indonesia bukan Italia atau Jerman. Di sini, kekuatan politik partai sangat kuat. Ketika kabinet dibentuk, sering kali kita melihat representasi dari semua anggota koalisi, sebagai imbalan atas dukungan politik. 

Sistem power-sharing inilah yang menjadi tantangan utama untuk mengimplementasikan zaken kabinet. Untuk memecahkan kebuntuan ini, Prabowo harus lebih dari sekadar pemimpin yang kuat; dia harus menjadi arsitek politik yang brilian.

Namun, dalam situasi politik yang penuh dengan ego dan kepentingan kelompok, sulit dibayangkan ada jalan mudah bagi perubahan besar semacam ini. 

Jika kita berharap terlalu banyak dari zaken kabinet, kita bisa jadi terjebak dalam lingkaran pesimisme. Seperti yang dikatakan Kahlil Gibran, kita mungkin akan berakhir sebagai "bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan."

Kegagalan atau Kesempatan?

Mari kita lihat lebih jauh. Eropa telah menerapkan technocratic government dengan berbagai tingkat keberhasilan. Di Italia, misalnya, technocratic government Mario Monti dianggap berhasil menstabilkan ekonomi negara tersebut selama krisis keuangan Eropa. 

Namun, tidak semua upaya semacam itu berhasil. Teknokrasi sering kali dipandang jauh dari rakyat, dan masyarakat sering kali merasa terasing dari pemerintahan yang mereka anggap "terlalu elit."

Indonesia menghadapi risiko yang sama. Jika zaken kabinet terlalu fokus pada efisiensi tanpa mempertimbangkan akar rumput, kita bisa saja melahirkan pemerintahan yang teknokratik, tetapi tidak demokratis. 

Bagaimana para profesional ini bisa memastikan bahwa kebijakan mereka relevan dengan rakyat jelata? 

Di sinilah peran partai politik tidak bisa begitu saja diabaikan. Mereka, bagaimanapun, adalah jembatan antara elit teknokrat dan masyarakat luas.

Perjuangan Melawan Kenyataan: Mungkinkah Prabowo Sukses?

Kita berada di titik kritis sejarah bangsa. Jika Prabowo benar-benar ingin mengimplementasikan zaken kabinet, dia harus menghadapi kenyataan pahit dari sistem politik kita yang cacat. 

Kekuasaan tidak mudah dilepaskan begitu saja oleh mereka yang sudah terbiasa berada di puncak. Dalam situasi ini, komitmen Prabowo akan diuji. Mampukah ia bertahan dalam tekanan koalisi politik yang haus kekuasaan?

Melihat sejarah pemerintahan di Indonesia, kita sering kali dipaksa memilih antara idealisme dan realitas. Zaken kabinet memang menjanjikan, tetapi apakah kita benar-benar siap meninggalkan cara-cara lama? 

Prabowo perlu lebih dari sekadar janji-janji manis; dia harus mempersiapkan strategi jitu untuk mengalahkan politik transaksional yang sudah mengakar dalam pemerintahan kita.

Akhir dari Kisah?

Seperti yang dikatakan oleh Kahlil Gibran, "Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya." Jika kita ingin keluar dari jebakan ketergantungan pada elit politik dan oligarki, kita harus menenun kembali jati diri bangsa kita sendiri. 

Namun, dengan situasi saat ini, zaken kabinet tampak seperti impian yang terlalu jauh untuk digapai.

Apakah Prabowo akan berhasil? Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang pasti, masyarakat harus tetap waspada. Dalam setiap janji politik, selalu ada risiko antara mimpi indah dan kenyataan pahit. 

Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar teknokrat yang ahli; kita butuh pemimpin yang memahami esensi dari kepemimpinan---memimpin dengan hati, bukan hanya kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun