Sistem power-sharing inilah yang menjadi tantangan utama untuk mengimplementasikan zaken kabinet. Untuk memecahkan kebuntuan ini, Prabowo harus lebih dari sekadar pemimpin yang kuat; dia harus menjadi arsitek politik yang brilian.
Namun, dalam situasi politik yang penuh dengan ego dan kepentingan kelompok, sulit dibayangkan ada jalan mudah bagi perubahan besar semacam ini.Â
Jika kita berharap terlalu banyak dari zaken kabinet, kita bisa jadi terjebak dalam lingkaran pesimisme. Seperti yang dikatakan Kahlil Gibran, kita mungkin akan berakhir sebagai "bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan."
Kegagalan atau Kesempatan?
Mari kita lihat lebih jauh. Eropa telah menerapkan technocratic government dengan berbagai tingkat keberhasilan. Di Italia, misalnya, technocratic government Mario Monti dianggap berhasil menstabilkan ekonomi negara tersebut selama krisis keuangan Eropa.Â
Namun, tidak semua upaya semacam itu berhasil. Teknokrasi sering kali dipandang jauh dari rakyat, dan masyarakat sering kali merasa terasing dari pemerintahan yang mereka anggap "terlalu elit."
Indonesia menghadapi risiko yang sama. Jika zaken kabinet terlalu fokus pada efisiensi tanpa mempertimbangkan akar rumput, kita bisa saja melahirkan pemerintahan yang teknokratik, tetapi tidak demokratis.Â
Bagaimana para profesional ini bisa memastikan bahwa kebijakan mereka relevan dengan rakyat jelata?Â
Di sinilah peran partai politik tidak bisa begitu saja diabaikan. Mereka, bagaimanapun, adalah jembatan antara elit teknokrat dan masyarakat luas.
Perjuangan Melawan Kenyataan: Mungkinkah Prabowo Sukses?
Kita berada di titik kritis sejarah bangsa. Jika Prabowo benar-benar ingin mengimplementasikan zaken kabinet, dia harus menghadapi kenyataan pahit dari sistem politik kita yang cacat.Â
Kekuasaan tidak mudah dilepaskan begitu saja oleh mereka yang sudah terbiasa berada di puncak. Dalam situasi ini, komitmen Prabowo akan diuji. Mampukah ia bertahan dalam tekanan koalisi politik yang haus kekuasaan?
Melihat sejarah pemerintahan di Indonesia, kita sering kali dipaksa memilih antara idealisme dan realitas. Zaken kabinet memang menjanjikan, tetapi apakah kita benar-benar siap meninggalkan cara-cara lama?Â