"Descriptive representation is insufficient; what matters is substantive representation---where representatives truly advocate for the interests of those they represent." - Anne Phillips.
Dua perempuan berdiri di panggung debat, saling bersaing untuk memperebutkan kursi kepala daerah.Â
Di atas kertas, ini adalah pemandangan yang membanggakan---simbol kemajuan kesetaraan gender di politik Indonesia.Â
Seolah-olah, kita sedang menyaksikan realisasi dari perjuangan panjang perempuan untuk mendapatkan tempat di meja kekuasaan.
Tapi, apakah keterwakilan ini benar-benar mengubah tatanan politik, atau hanya menjadi alat bagi partai politik untuk mencapai kemenangan?
Tren keterwakilan perempuan dalam politik lokal, khususnya pada Pilkada Serentak 2024, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah perempuan yang tampil dalam kontestasi ini adalah simbol kemajuan atau sekadar pemain dalam permainan politik?
"The appearance of power is not the same as real power," ujar feminis Gloria Steinem.Â
Dalam konteks politik, ini berarti bahwa meskipun lebih banyak perempuan menduduki posisi penting, tidak selalu berarti mereka memiliki pengaruh nyata dalam pengambilan keputusan.Â
Banyak dari mereka mungkin hanya dilihat sebagai figur elektoral yang strategis oleh partai politik---nama-nama yang dipilih bukan karena kemampuan, tetapi sekadar kalkulasi elektoral yang pragmatis.
Popularitas vs Kapabilitas
Salah satu faktor utama yang memengaruhi munculnya calon perempuan dalam Pilkada adalah survei popularitas.Â
Partai politik di Indonesia cenderung fokus pada siapa yang memiliki peluang terbesar untuk menang, terlepas dari kualitas kepemimpinan mereka.Â