Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pengalaman Saya Mencoblos sebagai Pemilih Khusus

19 Februari 2024   09:04 Diperbarui: 19 Februari 2024   09:05 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu 2024. KOMPAS.COM/Andika Bayu Setyaji

Sudah beberapa kali pemilu ini, saya dan istri mesti mencoblos di atas jam 12 siang. Saya dan istri masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK). 

Kami ber-KTP sesuai dengan domisili orangtua, demikian juga dengan kartu keluarga. Namun, karena sejak menikah kami pisah rumah dengan orangtua, mungkin itu yang menjadikan saya dan istri menjadi daftar pemilih khusus.

Sejak awal menikah saya memang mengurus kartu keluarga dan KTP sesuai dengan alamat orangtua. Ini disebabkan untuk kemudahan saja. 

Lagipula tempat tinggal kami dan orangtua tidak begitu jauh. Memang sih beda kota/kabupaten, tapi jaraknya hanya setengah jam berkendaraan.

Semua urusan apa pun sekarang menyesuaikan KTP. Karena itu juga saya tetap menjadikan rumah orangtua sebagai pijakan. 

Terlebih kantor media massa daring yang saya dirikan beberapa waktu lalu juga di sana. Dengan begitu, sembari bekerja saya bisa ketemu dengan bapak dan ibu.

Lantaran itu juga, RT setempat mengenal kami dengan baik. Apalagi saban Ramadan ada saja bingkisan yang kami salurkan kepada warga di sekitar kantor. 

Bukan dari saya pribadi, melainkan titipan dari klien media massa yang kami kelola.

Walhasil beberapa pemilu ini, terakhir yang baru lalu, 14 Februari 2024, saya dan istri masuk daftar pemilih khusus. Namun kali ini agak unik.

Biasanya kami mencoblos sesuai dengan TPS bapak dan ibu mencoblos. Jarak dari rumah hanya 30 meter. Jalan kaki juga sampai. 

Pemilu 2019 dan pilkada 2020, TPS tempat saya dan istri nyoblos sama dengan bapak dan ibu.

Namun, pemilu kali ini beda. Begitu datang jam 12, kami melapor sebagai daftar pemilih khusus di TPS dekat rumah. 

Kami diminta menunggu beberapa menit. Data kami disesuaikan dengan daftar nama pemilih di KPPS.

Usai dicek, nama kami tidak berada di TPS itu. Kami mesti mencoblos di TPS lain masih di kelurahan yang sama. 

Kali ini jaraknya lumayan juga sekitar satu kilometer. Tak masalah kalau begitu.

Kami kemudian menuju TPS yang nama kami ada di daftar pemilih khusus di sana. Begitu sampai, pencoblos sepi. 

Usai melapor dengan memberikan KTP, kami bisa memilih. Nama saya dan istri ada di daftar nama TPS ini.

Kurang dari sepuluh menit, pencoblosan selesai dan kami pamit seraya memberikan semangat kepada KPPS di TPS ini.

Kalau merujuk ke sini, sebetulnya ada tugas yang mesti ditambah KPPS kepada yang senasib dengan kami. Sehari sebelum pencoblosan, mestinya ada petugas yang memberi tahu di mana kami mencoblos sebagai daftar pemilih khusus. 

Ini berguna agar waktu yang ada bisa efektif. Apalagi durasi mencoblos daftar pemilih khusus ini jam 12 sampai jam 1 siang.

Meskipun demikian, untuk hak penuh mencoblos pada pemilu kali ini, kami juga salut. Artinya, daftar pemilih khusus sudah diatur sedemikian rupa sehingga nama kami ada di TPS tertentu. 

Yang khawatir tentu kalau nama kami tidak masuk di TPS manapun.

Pengalaman yang baru ini, cukup banyak juga yang menggunakan hak pilih dari slot daftar pemilih khusus. Saya menyarankan, KPU berkoordinasi dengan kelurahan dan kecamatan serta dinas kependudukan untuk langsung saja memasukkan mereka ini ke daftar pemilih tetap pada pemilu yang akan datang. 

Toh mereka ber-KTP setempat. Mungkin karena alasan tertentu mereka tetap ber-KTP domisili orangtua meski tinggal di daerah yang lain. 

Selama masih warga negara Indonesia, tentu hak kita memilih. 

Pemain timnas yang baru saja naturalisasi saja bisa mencoblos, masak iya warga negara yang bertahun-tahun pegang KTP sulit diberikan akses masuk ke daftar pemilih tetap atau minimal daftar pemilih tetap tambahan (DPTb). [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun